Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2018

Mengulang Hilang

Sabit jatuh pada kaki langit, mengistirahatkan sinarnya kepada bumi. Sedang kamu enggan menatap satu purnama utuh di depanmu—diriku. Perihal kesepakatan hubungan yang kauputuskan secara sepihak, aku pasrah. Aku siap mendengar semua kelakar yang menjauhkanku dari hangat dulu-dulu yang menjalar. Membicarakanmu sama saja mengulang hilang. Bagiku hilang, entah bagimu. Hilang yang muncul tiba-tiba. Dengan langkah patah-patah dan luka hati yang basah, aku memutar haluan darimu. Senyum tipis kubiarkan mengalir sebagai hadiah terakhir. Tidak perlu air mata, sebab kata-katamu tengah malam sudah menguras semua energiku. Uratku mengendur, pertanda sudah lelah dengan segala. Aku, ingin mundur saja.

Menjadi Tamu di Beranda Matamu

Hanya tiga menit. Malam ini izinkan aku menitipkan segala rinduku di matamu. Aku tak punya pilihan ke mana langkah selanjutnya, selain menjadi tamu di beranda matamu; sungguh, sejenak saja sebelum singgahku benar-benar jauh. Jika kautahu, aku sungguh ingin menetap di matamu. Di sana akan banyak kutemukan keteduhan, aku tak perlu khawatir mengenai rindu yang kutitipkan, sebab ia sudah tak kedinginan di tepi jalan. Riuhku runtuh dan lelahku akan padam menyeluruh. Atau kauboleh merebahkannya di dadamu yang awah, tak apa, asal ia bersamamu. Untuk tiga puluh detik terakhir: kelak, suatu hari nanti; di matamu aku ingin kembali tinggal. Bersamamu, menjadi puan dalam matamu. Bukan untuk menjemput rindu-rinduku, tapi memagut rindu bersamamu.  Sungguh.

Beranjak

Tidak perlu pamit dan berterima kasih, sebab untuk kesekian kali, aku benar-benar mengerti, pergimu yang tanpa permisi adalah salah yang selalu kubenarkan berkali-kali. Maka kuputuskan, ada yang ingin kutanggalkan satu per satu, sebelum gagal benar-benar menguasai. Kautahu itu apa, sebab ini perihal usaha menjadi tunggal setelah ditinggal. Pun kautidak perlu kembali, sebab aku benar-benar ingin pulih. Maka kuputuskan, beranjak kembali adalah cara terbaik meredam patah hati. Sendiri.

Pukul Tujuh

Aku ingin secangkir kopi malam ini, tidak terlalu pekat dan pahit. Jika kaubersedia, datanglah. Dengan begitu aku tidak perlu tambahan gula, sebab kaudatang sebagai pemecah sendu dan penawar pahitnya rindu. Kutunggu pukul tujuh nanti.

Memilih Kesendirian

Malam ini hampir sempurna, tidak dengan kamu, tapi dengan seutuh sepiku. Aku menyukai kesendirian, pada kesendirian aku bisa memeluk diri sendiri. Aku lebih padam dari rindu yang selalu melukai. Tidak lagi kacau, aku selalu pulang dan rebah pada dada sendiri, tak apa, sebab aku tidak akan pernah lupa jalan pulang: kautak perlu risau: dalam dadaku—palung—aku melihatmu menungguku untuk mengetuk pintu, aku akan kembali.