Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2019

Raib

Aku jemari tangan yang menahan luka, menanti sepasang mata. Menatapku, menjemputku. Hidup, lalu hidup memanggilnya. Di atas mangkuk bulan dan sinarnya, nadiku bergetar seirama jantung berdebar. Nanar meminta dipenjarakan dan dibiarkan tak bernyawa berlama-lama. Lalu, akan kumainkan seluruh peran dan perannya. Di kaki sayap-sayapmu yang kupatahkan sengaja, telah kuhirup dalam-dalam peliknya kehidupan dan sandiwara. Aku berjalan, hingar menelisik kenangan sampai hilang. Dan nada-nadaku, juga udaraku berkurang satu—kamu.

Sua

Kamu hanya pendatang, menggerayang dan melintas entah ke mana. Bersama di hadapan, jua dipeluk oleh ruang bertekuk kehancuran. Dan sejengkal tanah adalah kekasihnya. Kelak, agaknya sampai di tepi jurang. Dimuntahkannya segala udara untuk menyampaikan sesak yang tersisa— berdua, sekali lagi.. . . . . . Hai, apa kabar?

Jejak dan Puncak

Aku jejak yang bermuara di lembah dari sejengkal ketidakpastian. Mencoba berdiri dan bertahan dalam setiap keadaan. Daun kering dan ranting-ranting pohon yang masih setia berkawan— akhirnya mereka jatuh dan berubah haluan. Nyatanya, setiap inci perubahan memiliki dua pilihan: membahagiakan atau berpura-pura dibahagiakan. Lalu, kuarungi setiap tanah yang memanggil, sampai pada titik terjauh, langkahku terhenti. Melihat sosok yang telah lama menunggu dan tersenyum untuk pertama kalinya. Dan pada akhirnya, kamu adalah tanah yang kupijaki, sampai kita bertemu di atas titik tertinggi—di puncak kebahagiaan.

Akan

Izinkan aku menguliti seluruh kisah yang pernah ada. Bahkan hanya dengan secangkir teh hangat atau segelas kopi sebagai penawar hambar. Kisah-kisah silam dan abadi terkenang dalam ingatan, cita-cita yang diharapkan akan hidup di masa depan dan doa-doa tulus semoga masih setia menggiring kita. Nanti, jika kupulang dengan atau tanpa raga, akan kukirim yang tersisa—hanya jiwa, yang semoga masih dapat memelukmu melalui kata.