Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2019

Mala

Tidak ada yang istimewa daripada kisah-kisah yang ditulisnya di dalam lembar-lembar yang katanya dipenuhi harapan. Tentang secangkir kopi, teh hangat, matahari, bulan, bintang atau sejenisnya. Semua hal-hal ia coba dendangkan melalui nada-nada tulisan yang merdu. Bukan suaranya, tidak juga iramanya. Tetapi maknanya. Mala. Nama penuh doa sekaligus resiko untuk hidupnya. Namanya cantik, tapi ambigu maknanya. Namanya mudah dihafal, tetapi menimbulkan keraguan bagi yang mendengar atau memanggilnya. Nama yang diselipkan oleh orang tuanya benar-benar memiliki makna yang bertentangan arti. Bagi orang yang tidak mengetahui persis arti namanya, mungkin akan mengira sebagai petaka, musibah atau sejenisnya. Tapi, sesungguhnya namanya amat besar dan penuh arti dan keyakinan sebagai penolong, juga bahagia. Sampai detik ini pun adalah perjuangan besar untuk meruntuhkan segala kerusuhan yang berkecamuk di kepala tentang namanya. Tidak ada yang tahu persis untuk beberapa waktu kemudian, mengenai nam

Keluarga Kecil di Kampus

Sepanjang hidup, inilah perjuangan terbaik sampai saat ini. Perjuangan hebat yang berpondasi pribadi-pribadi hebat. Perjuangan yang utuh dan bermakna dari sosok-sosok pejuang tangguh. Perjuangan yang dimaknai rasa kekeluargaan. Perjuangan tentang bagaimana memaknai arti perjuangan itu sendiri.  Dan perjuangan ini adalah kita, keluargaku. Kalian adalah keluarga yang tidak dilahirkan, tetapi dihadirkan.  Kalian adalah keluarga yang tidak pernah dibayangkan, tetapi selalu menghangatkan.  Keluarga yang tidak selalu bersama, tetapi senantiasa membawa bahagia. Sejatinya perjuangan tidak akan pernah berakhir, karena perjuangan adalah untuk selama-lamanya. Maka, juga―tidak akan pernah ada kata akhir bagi sebuah keluarga. Keluarga tetaplah keluarga. Inni uhibbukum fillah, keluargaku!

Menuju Kehilangan

Berhari-hari sudah kuhabiskan seluruh jalan agar aku merasa tidak seorang diri. Dan aku berhasil, ratusan persimpangan telah kulewati. Tidak pernah aku menemui diriku berjalan seorang diri, selalu ada seseorang yang juga melangkahkan kaki bersamaku. Mereka tidak menggiringku, juga tidak beriringan denganku. Semuanya berjalan sesuai jalannya masing-masing. Tikungan, tanjakan bahkan kebuntuan pernah menerkamku dan memaksaku untuk kembali menuju jalan yang lain. Sampai bermil-mil jauhnya, langkahku harus kupaksakan berjalan. Karena sudah kumantapkan, aku hanya ingin terus berjalan. Tidak peduli apapun. Sampai suatu ketika, di persimpangan ke berapa, aku menemui seseorang yang tak asing. Juga baru kutemui seseorang lain yang menghampirimu. Aku berusaha tidak peduli, tapi tidak bisa. Langkahku tetap berjalan tapi tetap di suatu tempat, ia merengek dan memintaku Untuk menyaksikan sebuah kehilangan yang memang dirayakan untukku. Kalian tidak perlu tersenyum, juga tidak usah khawatir,

Mimpi Kita

Kita hanya dua dari milyaran insan yang berdiri menunggu waktu—saling mengizinkan sebuah pertemuan. Meski hanya pertemuan singkat, mimpi kita sudah terlalu padat sampai tidak bisa lagi dimuat dan disimpan rapat-rapat. Hingga pada suatu hari, kita saling membenci atas ketidakbersamaan. Bukan karena waktu yang terlalu singkat untuk didamba, tetapi tentang seluruh mimpi-mimpi yang belum dituntaskan menjadi nyata. Mungkin juga kita saling merindukan bagian yang tak lagi bisa dilalui bersama, tetapi masih sanggup menatap mimpi dan mewujudkannya—meski hanya seorang diri. Di hadapan semesta, kita layaknya angin yang sibuk mengembara ke sana ke mari mencapai tujuan, tanpa tahu kapan berhenti. Tidak peduli. Seperti memori yang dipaksa kembali atau mimpi-mimpi setinggi langit yang sulit diraih, hilang dan menjadi usang di antara keraguan. Tetapi, tetap hidup di antara harapan. Kita sebenarnya sedang bermain sandiwara di hadapan waktu. Menebak-nebak apa yang akan terjadi,  mungkin akan m