Mala

Tidak ada yang istimewa daripada kisah-kisah yang ditulisnya di dalam lembar-lembar yang katanya dipenuhi harapan. Tentang secangkir kopi, teh hangat, matahari, bulan, bintang atau sejenisnya. Semua hal-hal ia coba dendangkan melalui nada-nada tulisan yang merdu. Bukan suaranya, tidak juga iramanya. Tetapi maknanya.

Mala. Nama penuh doa sekaligus resiko untuk hidupnya. Namanya cantik, tapi ambigu maknanya. Namanya mudah dihafal, tetapi menimbulkan keraguan bagi yang mendengar atau memanggilnya. Nama yang diselipkan oleh orang tuanya benar-benar memiliki makna yang bertentangan arti. Bagi orang yang tidak mengetahui persis arti namanya, mungkin akan mengira sebagai petaka, musibah atau sejenisnya. Tapi, sesungguhnya namanya amat besar dan penuh arti dan keyakinan sebagai penolong, juga bahagia.

Sampai detik ini pun adalah perjuangan besar untuk meruntuhkan segala kerusuhan yang berkecamuk di kepala tentang namanya. Tidak ada yang tahu persis untuk beberapa waktu kemudian, mengenai namanya atau maknanya.
Ia tak peduli—tepatnya, berpura-pura untuk tidak peduli. Ia paham, nama adalah sebuah anugerah dari orang tuanya, tapi semoga juga tidak sebagai musibah. Seperti makna lain dari namanya.

Matahari tepat di tengah kepala. Siapapun yang berada di bawahnya sudah pasti berusaha menghindari keterikannya.

“Hey.. Mbak Mala?”

Mala tekejut ketika sedang berjalan menuju kantornya, ia mendapati seseorang yang memanggilnya. Ia sempat ragu untuk menyapa balik, “Hey.. Dimas, ya?”

Ya, Dimas yang tiba-tiba menyapa Mala di pinggir jalan. “Loh, Mbaknya tau dari mana?” ia terheran-heran.

“Ah.. tukang gorengan itu,” ditunjuknya tukang gorengan di ujung jalan, “saya juga tau namanya,” Mala terkekeh. “Bercanda, saya sering lihat Mas-nya menghadiri seminar dan workshop saya dan saking terlalu seringnya."

Air muka Dimas berubah merah. Ia tidak pernah menyangka ternyata ada yang memperhatikan dirinya sampai tahu namanya. “Ya ampun. Jadi malu saya, Mbak.”

Mala tersenyum.

“Boleh saya minta TTD, Mbak?”

Kedua kali, Mala tersenyum ketika melihat buku yang dibuka oleh Dimas. Tertera namanya di sampul buku itu, Mala Alana.

“Untuk?”

“Saya mbak,” kata Dimas memberikan novelnya.

Mala lihai menandatangani novel milik Dimas, yang juga merupakan karyanya. “Ternyata,” sahutnya sambil menutup buku yang telah ditandatangani, “laki-laki seperti kamu suka membaca novel seperti ini?” lanjutnya.

Dimas tertawa kecil.

“Mbaknya mau pulang?” tanyanya ketika menerima novel yang telah bertanda tangan Mala Alana.

“Mau balik lagi ke kantor, ada perlu,” katanya menjelaskan singkat.

“Baiklah, saya duluan, ya, Mbak.”

“Ok, hati-hati.”

“Terima kasih, Mbak.”

Mala teringat sesuatu, entah apa yang ada di pikirannya tiba-tiba ia mengeluarkan pulpen berbentuk matahari di ujungnya. Cantik, berwarna kuning.

“Tunggu,” katanya menahan Dimas yang belum berjalan jauh.

Dimas menoleh dan berhenti tepat di hadapannya. Wajahnya menerawang.

“Ini, buat kamu.”

Ia menerima ragu pemberian Mala. Mala tidak peduli, ia tetap memberikan secara paksa pulpen itu untuknya.

“Yaaa, simpen aja,” pulpen itu dipaksa diletakkan di tangannya, “Ini adalah salah satu koleksi saya dan saya ingin membaginya,” katanya tersenyum.

“Lho, lucu deh, Mbaknya. Koleksi seharusnya menjadi sesuatu yang sangat privasi, bukan justru dibagikan dengan orang yang tidak dikenal,” kata Dimas meraba dan melihat detail pulpen tersebut.

Tidak ada yang spesial sebenarnya dari pulpen ini, tapi tersimpan makna yang luar biasa untuknya. “Saya jaga, ya, Mbak.”

Bibir Mala menerbitkan bulan sabit. Manis. “Oia, jangan  panggil saya mbak, saya juga seumuran dengan kamu!”

“Saya tau!” tandasnya sambil terkekeh.

“Ok, saya duluan, ya.”

“Sampai bertemu lagi,” katanya ragu “Mala,” Dimas melanjutkannya. Lalu keduanya meninggalkan tempat persinggahan sementara dan melanjutkan aktivitas masing-masing. Dimas menuju barat untuk kembali pulang ke rumah dan menenggelamkan diri ke peraduannya. Sebuah tempat yang menyediakan berbagai kehangatan serta manisnya petualangan di cakrawala. Sementara Mala menuju timur, kembali menelusuri jejak-jejak kehidupan yang lain, untuk mencari sebuah tempat peristirahatan―juga kehangatan.

***

Di hari ke sebelas tahun ini. Matahari sedang menuju barat dan akan segera mengakhiri petualangannya di hari ini. Semburatnya tegas, mempertegas senja dan kehangatan.

“Hey..” Dimas menyapa.

Mala menoleh ke arah laki-laki yang berdiri sejak lima belas menit lalu dan ia tak sadar bahwa ada yang sedang memperhatikannya dari tadi. Sebelum menoleh, ia sudah tahu siapa yang memanggilnya. Suaranya sangat khas, Mala bahkan paham betul nada apa yang dikeluarkan suara bassnya ketika menyebut namanya. Mala tersenyum melihatnya.

“Hey," ulangnya. "Lagi nunggu bus?” Dimas bertanya.

“Yaa, kamu?”

“Lagi butuh seseorang.”

Mala menerawang wajah Dimas dan mengekspresikan mimiknya melalui pertanyaan, “untuk?”

“Kamu mau ikut aku?”

“Ke mana?”

“Mau atau tidak?” Dimas menekankan. “Tidak perlu bertanya sebenarnya, kamu hanya perlu menjawab ikut.”

Mala mengembuskan napas ringan dan terkekeh, “Jangan culik aku!”

Dimas tertawa kecil mendengarnya, “Hahahha.” puncak kepala Mala diacaknya.

Mereka mengundurkan diri dari terminal yang ramai. Meninggalkan persinggahan untuk mengunjungi persinggahan lain. Tidak ada yang istimewa jika hanya persinggahan. Didatangi, lalu disudahi. Jika ingin kembali, kembalilah. Jika tidak, siap-siap untuk merindukannya! Kata-kata Mala yang ditulis dalam bukunya masih jelas diingat oleh Dimas. Bahkan jika ditanya halaman ke berapa, Dimas pasti menjawabnya.

"Kamu lihat!"

Dimas menunjuk objek penglihatan di seberang tempat duduk mereka. Mala menatap mata Dimas ragu-ragu, "Lantas?"

"Kamu perhatikan baik-baik."

Dimas tak ingin menjelaskan banyak hal mengenai keindahan dan kehangatan di sini. Semuanya sudah bermakna walau hanya dirasakan.

Mala masih tidak mengerti apa yang Dimas maksud. Matanya memaksa mengarahkan ke objek cantik dan mengindahkan penglihatan. Matahari terbenam.

”Manis,” Mala berbisik.

Lima menit berlalu. Tidak ada percakapan di antara mereka. Tidak ada pula pergerakan di antara tubuh mereka. Hanya udara yang bergerak merasuk melalui pernapasan. Guratan senja semakin jelas di atas cakrawala. Burung camar juga berterbangan kembali ke rumahnya. Hanya angin dan denting ranting yang menemani mereka berdua. Juga kehangatan yang sengaja dibagi senja kepada mereka. Keduanya tenggelam dalam lautan kehangatan kala itu. Berdua, di ujung senja.

"Mas, udah selesai?"

"Kamu percaya, kamu sedang dibersamai oleh objek dengan rupa yang berbeda," katanya yang tak menghiraukan pertanyaan Mala.

Mala bingung, “Maksudnya?”

“Dimas dan matahari terbenam,” ujarnya. Dimas menghela napas pendek dan kembali menyaksikan makna dirinya melalui rupa yang berbeda.

“Kamu nggak perlu takut dengan sesuatu yang jelas-jelas nggak pernah kamu ketahui dengan pasti,” ia membetulkan posisi duduknya. “Kamu bilang tadi apa yang sedang kamu lihat adalah sesuatu yang manis. Dan memang benar hampir semua orang menyukai matahari terbenam. Tentang senja dan guratannya. Atau,” Dimas menerawang, “tentang romantisme bahkan mungkin bagi sedikit orang adalah ironi yang sedang disediakan Tuhan.”

Mala masih menatap lekat laki-laki yang berada di sampingnya. Sesekali menyibak anak rambut yang liar berterbangan oleh angin.

“Selalu ada hal yang menggenapkan ketenanganku, terima kasih," Mala merasa tenang.

“Kamu hanya perlu membangun sudut pandang dalam hidupmu. Kamu yang menentukan bangunan seperti apa yang menjadi impian terbesarmu, bukan orang lain dan bukan juga namamu," lagi, Dimas tidak menghiraukan kalimat yang Mala ucapkan.

Lalu, keduanya di antara keheningan.

Mereka masih mematung menonton pertunjukan terbenamnya matahari yang meliukkan kehangatan. Mala selalu tahu bahwa di luar jiwanya selalu ada yang menjiwai jiwanya. Dimas.

Tak ada lagi percakapan. Yang ada hanya getaran dalam hati Dimas untuk memeluk perempuan di sebelahnya. Tangan kirinya merengkuh bahu perempuan itu, menarik dirinya ke dalam pelukannya. Diam. Tak ada juga jawaban dari Mala. Hanya debaran jantung milik Dimas dan dirinya yang senada dan sangat menyejukkan hati.

Tidak juga ada jawaban dari semesta. Bahkan semesta mendukung keduanya, tidak juga ada udara sebagai pembatas, yang ada hanya kehangatan yang mengepung keduanya.
Beberapa waktu kemudian, matahari telah membenamkan diri menuju peraduannya. Langit mulai berubah warna menjadi kelam. Tidak ada lagi senja dan jingga, tidak ada lagi burung camar yang bebas ke sana ke mari. Tidak ada apapun. Hanya tersisa mereka dan pasang ombak yang menderu.

Lalu Dimas berbisik, “Tidak perlu takut.”

Mala melirik matanya.

“Bersedialah untuk terus bersamaku,” katanya, “maka kamu akan terus bisa merasakan manisnya matahari terbenam.”

Mala tersenyum lega mendengarnya. Sangat manis dan menghangatkan. Seperti makna namanya. Dimas, matahari terbenam. Dimas menguatkan hatinya. Mala merasa bebas, tidak perlu takut dengan hal yang belum sepenuhnya ia ketahui.

Mulai detik ini, seperti yang Dimas bilang, yang perlu ia lakukan adalah membangun sudut pandang dalam hidupnya. Tidak perlu mencari untuk menemukan, tidak juga perlu mengkhawatirkan. Cukup dengan membangun, maka hidupmu akan lebih bermakna. Tidak perlu mencoba menerawang, cukup dengan melakukan dan mewujudkannya. Tidak perlu takut dengan “mala”, ia hanya seperbagian kecil yang mengisi hidupmu—kata Dimas. Yang dapat membuat hidupmu bermakna adalah dirimu, bukan namamu.

Kemudian, sampai langit mengubah warna mereka justru menikmati lagu yang disediakan malam. Semuanya indah di antara kehangatan.

"Dan tentang pulpen yang kamu kasih waktu itu, entah sebuah petunjuk atau hanya kebetulan semata," kiranya. "Aku menyukainya."

Kali ini, keduanya tidak lagi menuju tempat yang berbeda. Keduanya beriringan menikmati rahasia yang akan Tuhan berikan untuk beberapa tahun kemudian. Jika waktu itu keduanya menuju arah yang berbeda, kali ini keduanya menuju arah yang sama;menuju barat untuk kembali pulang dan menenggelamkan diri ke peraduan bersama-sama. Sebuah tempat yang menyediakan berbagai kehangatan serta manisnya petualangan di cakrawala.

Esoknya, menuju timur; kembali menelusuri jejak-jejak kehidupan yang lain, untuk bersama-sama membangun impian keduanya.

Esoknya lagi, menuju masa depan.

Dan seterusnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pulang

Menamu

Mati Suri