Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2018

Undangan dalam Secangkir Kopi

Aku tidak peduli pada malam itu. Tidak peduli harus ke mana. Aku tinggalkan semua keramaian. Aku cukup lelah mengikuti alur kehidupan yang terus mengalir biasa saja. Ini membosankan. Bahkan tidak ada yang lebih hidup daripada sekadar raga ini. Ide-ide tumbang di ujung pikiran. Motivasi pergi menyita segala jiwa. Aku enggan lagi seperti ini. Lelah. Malam ini aku rindu merapatkan tubuh kepada sepiku. Memilih menidurkannya pada kesendirian. Bertahan pada kesenyapan tanpa sayap-sayap dan cuap-cuap. Aku ingin jauh dari riuh. Malam ini saja akan kutimang semua gundah dalam dada. “Semoga kautak kesepian,” hatiku bergumam demikian. Aku melangkah dengan gontai meninggalkan perapian pusat pikiranku. Berjalan dengan memutar haluan, entah ke mana. Diri ini sadar telah hilang kendali oleh diri sendiri. Demikian, aku tidak pernah ingin berhenti berjalan. Bagaimanapun, kelak di manapun, akan kutemukan sebuah titik balik pada diri ini. Aku tidak akan berhenti, bahkan jika perapian itu membakar h

Sua Mata

Malam nanti tidak perlu ngigau untuk menyebut namaku, Kecuali, demikian: Kita menyebutnya bersama-sama Tanpa kata, Tapi dengan mata. Kalau tidak keberatan, mari rebahkan kepalamu, Selamat malam

Tidurnya Matahari

Matahari belum nampak pagi ini Mungkin masih terjaga; sebentar lagi Jika demikian sampai petang, Aku senang Kita tidak akan diganggu bayang-bayang yang terus menuntut ikut Jadi, hanya kita saja Kamu dan aku

Kamu, Bukan Rindu

Hari ini aku tidak perlu rindu. Apalagi mengucap kata itu Yang aku perlu hanya kamu, Kuulangi, kamu.

Sepakat

Kita telah berkali-kali membicarakan tentang perasaan ini. Perasaan yang tidak ingin pernah kita tuntaskan. Tapi semuanya menyerah ketika perselisihan dan pertengkaran datang terus-menerus menjemput kebahagiaan. Ketakutan mulai merayapi hati yang rapuh, bahkan tidak peduli lagi apabila benar-benar patah dan terjatuh. Bagian yang paling menyakitkan memang bukan perkara perpisahan yang akan terjadi, karena itu adalah resiko dari segala pertemuan—dan kita menyepakatinya. Tetapi, bagaimana menyikapi segala hal yang terpaksa berkesudahan. Bukankah di antara kita sepakat untuk menolak terpaksa? Nanti, jika segala resah menguliti kerinduan kita, ada baiknya kamu tak perlu membumbuinya. Biarkan saja seperti itu, barangkali itulah rasa sesungguhnya yang hinggap di antara kita, rasa yang kita cicipi dan memaksa untuk memahami maksud semesta. Bukankah di antara kita lebih suka segala yang hambar? Seperti ini, bahkan kita tak pernah bisa menikmati rasa apa dalam hubungan ini. Karena, lagi,