Pesan Dariku, Tuan
Yang sedang bersedih, Tuanku, semoga pesanku cukup menenangkanmu. Sebelumnya, maafkan aku karena tidak pernah berhasil menghiburmu, sekadar menenangkan—menghantarkan sebuah pelukan dan kecupan hangat, misalnya. Ketahuilah, ada perasaan yang muncul dan menjelma seperti yang kamu rasakan. Kacau, katamu. Tidak tahu harus apa—ketika pikiranmu benar-benar sedang buntu. Percaya atau tidak, di sudut ruangan lain, ada khawatir dan getir. Ada diriku, perempuan yang ikut luruh dalam kerapuhanmu. Sosok yang tidak terlihat di depan matamu, tapi nyata memelukmu dengan lengan doa-doaku. Percayalah, ada yang sedang merengkuh relungmu, berusaha ikut mengangkat tajamnya belati yang menusuk sampai rusukmu—yang sakitnya teramat dalam bagimu. Sadarkah, tetes airmatamu turut memecah tulang airmataku, sehingga keduanya beriringan mengalir jernih pada pipi dua insan. Kau dan aku. Aku ingin berusaha mengiringmu, lalu kita seiringan menepi pada akhir kesedihanmu. Agar lukamu lekas hanyut dirombak ombak me