Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2017

Terbunuh

Ingat bagaimana perjalanan panjang yang mengekang kepulangan kala itu? Setapak demi setapak, jejak begitu nyata—yang tersisa ampas rindu, kerap kali terseduh waktu. Aromanya begitu pahit, telak memberi sakit— dan masih ingat persimpangan mana yang dilalui? Ada lambaian tangan yang melambung di udara dan menyisakan hampa, menggantung tanpa suara. Sampai memori itu runtuh, ada jiwa yang berdiri melepuh di antara riuh. Kosong, tak lagi utuh. Terbunuh. —Persimpangan T erjauh

Ingin

Lelah. Malam ini aku rindu merapatkan tubuh kepada sepiku. Memilih menidurkannya pada kesendirian. Bertahan pada kesenyapan tanpa sayap-sayap dan cuap-cuap. Tubuh ini ingin jauh dari riuh. Malam ini saja akan kutimang semua gundah dalam dada. "Semoga kautak kesepian."

Bangku Taman

Sebut saja sebagai bangku taman, aku asing dijejaki puluhan langkah antah berantah. Kecuali kamu, berlalu lalang datang-pergi. Aku memilih diam. Disinggahi hanya sepersekian waktu. Tak apa. Barangkali lampu taman bersedia tetap hidup, tapi itu tak cukup untuk hidupkan jiwamu yang redup. Kamu benar, katamu menegaskan, “jalan yang sedang kausinggahi akan berakhir menjadi rinduku”. Aku meneduhkan risauku dan menahan luka jatuh dari pelupuk: terakhir kali, di simpang jalan tubuh tegap kalap oleh gelap. Lampu taman meremukkan pendarnya, langkahmu mundur dan memutar haluan. Semesta tidak lagi mengizinkan sua, tapi meninggalkan bekas luka yang masih membekas jua. “Aku pergi," Dan singgahmu hanya sebatas sementara, rindu itu bukan untuk aku. “Semoga kausegera menemukan jalanmu, agar tidak lagi menyinggahiku.”