Sebait puisi terakhir baru saja ia ucap dengan lirih. Rak buku beserta buku-buku di ruang tersebut seakan menjadi penikmat, seolah mereka sedang menonton pertunjukan pembacaan puisi. Buku yang digenggamnya―jika ia dapat berbicara―merasakan getaran nadi yang begitu hebat; degup jantung berirama cepat; bayangan masa lalu yang pelan-pelan merambat kuat. Setiap baris puisi tersebut mengingatkannya pada suatu masa. Satu per satu halaman membaca mimiknya, begitupun dirinya yang membaca isi halaman dengan mimik terbaiknya. Kenangan menenggelamkan angan-angan terdahulunya. Sejumput rindu terjemput, merasuk, menusuk rusuk... Secangkir kopi diseruput oleh bibir merahnya, aroma pahit mulai menguasai ruangan. Ia berdiri sambil memegang cangkir yang masih berisi setengah kopi, memandang sejenak langit yang menangis. Diara kemudian membalikkan punggungnya dan mengangkat bahunya, melirik Ana sahabatnya. “Kamu cuma tau rahasia cuaca hari ini, Di,” ucap Ana. “Dan rahasianya langit yang