Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2020

Menu Istimewa

Ingin kukuliti tubuhmu yang dingin dengan hangat pelukku. Lantas kuisi dengan gelegak tawa yang kutabung sejak dulu. Seisi semesta sudah siap memanggang rindu-rindu di antara kita, ditambah sekelompok bunga lily yang cemburu menyaksikanku tenggelam di dadamu. Setelahnya kita bercengkerama sambil menyaksikan langit berganti kulit, dan kita kekenyangan membicarakan masa depan sampai ketiduran lalu diculik dari kesedihan.

Semestinya Semesta

Aku ingin, tapi semesta tetap dingin Aku rindu, tapi semesta seolah tidak tahu Aku jatuh, tapi semesta semakin menjauh Aku patah, tapi semesta memilih pindah Aku remuk, tapi semesta tak ingin rujuk Aku sakit, tapi semesta terasa semakin pahit Dan ketika semesta mulai bicara, aku enggan bersuara.

Monolog

Kemarin, sore hari ditemani langit. "Ada yang harus kita tanggalkan, meskipun tinggal tetap ingin menetap!" Suaranya parau beradu dengan burung yang berkicau. Aku tidak mau mendengar juga tidak ingin mengiyakan. "Tapi, tidak usah dipaksa, nanti yang ada kamu tersiksa," ia menghela napas sejenak, "mengalir saja, tanpa harus berpura-pura," lanjutnya. Pikirku, sok tahu sekali ia tentang keadaanku. "Mau bagaimana pun memang tidak ada yang pernah benar-benar lupa, yang ada hanya memilih untuk tidak mengingat luka." Lagi-lagi, lancang sekali. Tidak kupedulikan, biarkan saja ia tetap berbicara. Kuhangatkan kembali isi kepalaku dengan melanjutkan membaca buku dan sesekali menyeruput teh hangat. "Bahagianya boleh kau bagi, sukanya boleh kau rasa, tapi simpan saja untukmu sendiri. Tidak untuk yang lain." Semakin kurang ajar! "Memangnya kenapa?!" "Manusia mana yang bersedia dibahagiakan atas kepura-puraan. Setiap orang sel