Monolog

Kemarin, sore hari ditemani langit.

"Ada yang harus kita tanggalkan, meskipun tinggal tetap ingin menetap!" Suaranya parau beradu dengan burung yang berkicau.

Aku tidak mau mendengar juga tidak ingin mengiyakan.

"Tapi, tidak usah dipaksa, nanti yang ada kamu tersiksa," ia menghela napas sejenak, "mengalir saja, tanpa harus berpura-pura," lanjutnya.

Pikirku, sok tahu sekali ia tentang keadaanku.

"Mau bagaimana pun memang tidak ada yang pernah benar-benar lupa, yang ada hanya memilih untuk tidak mengingat luka."

Lagi-lagi, lancang sekali.

Tidak kupedulikan, biarkan saja ia tetap berbicara. Kuhangatkan kembali isi kepalaku dengan melanjutkan membaca buku dan sesekali menyeruput teh hangat.

"Bahagianya boleh kau bagi, sukanya boleh kau rasa, tapi simpan saja untukmu sendiri. Tidak untuk yang lain."

Semakin kurang ajar! "Memangnya kenapa?!"

"Manusia mana yang bersedia dibahagiakan atas kepura-puraan. Setiap orang selalu tau caranya membahagiakan dan menerima kebahagiaan."

"Saya bahagia seperti ini!" Tukasku.

"Tapi, aku tidak!"

Dia menangis kencang, membuat air mataku tumpah. Kesakitan menjadi berkali-kali lipat menidurinya. Perih. Dia sudah tidak sanggup menahan sakitnya sendirian. Katanya, ini juga tanggung jawabku. Dia memohonku untuk tidak berpura-pura lagi, jangan lagi merasa kuat, padahal melarat. Tidak enak, tidak bisa bahagia sepenuhnya.

Tangisnya terus memecah keheningan, meruntuhkan keriuhan isi kepala yang menolak tanggal dan meminta tinggal. Satu per satu langkahnya mendekatiku dan merengkuh tubuhku.

"Jangan takut, kita masih bisa bahagia tanpa berpura-pura," di sela tangisnya dia tetap menenangkan, "dan kamu berhak itu," lanjutnya.

"Kalau jalanmu bukan di sana, mungkin di sini bersamaku," senyumnya merekahkan senyumku.

"Selamat menemukan jalan bahagiamu!" Katanya terus terang sambil memelukku.

Di hari itu, setelah langit berganti kulit, kami berdamai dan bersepakat untuk saling bahagia tanpa berpura-pura. Ia tahu semua. Ia benar, tidak ada yang namanya bahagia kalau berpura-pura—sekalipun itu membahagiakan.

Ia, adalah hatiku.

Ada yang harus ditanggalkan, meskipun tinggal tetap ingin menetap. Tapi, tidak usah dipaksa, nanti yang ada hanya tersiksa. Mau bagaimana pun memang tidak ada yang pernah benar-benar lupa, yang ada hanya memilih untuk tidak mengingat luka. Mengalir saja tanpa harus berpura-pura. Jangan takut, kamu masih bisa bahagia tanpa berpura-pura dan kamu berhak itu. Kalau jalanmu bukan di sana, mungkin di sini bersamaku. Masih banyak jalan lain menuju bahagiamu. Selamat menemukan jalan bahagiamu!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pulang

Menamu

Mati Suri