Segelas Teh Tawar

“Aku ingin menikah denganmu!”

Hening sesaat setelah ia mendegar ucapanku. Ia sungguh tak bisa menahan ledakan tawa yang dipaksa disimpan.

“Hahahahahahaha. Gila kamu!”

Sialan! Aku sinis dan bingung, “Kenapa?”

Dia menatapku tajam. Bisa kubaca dari wajah bulatnya bahwa yang terbesit dalam pikirannya adalah Berani sekali mengucapkan kata sakral ini. Dasar pembual!

Ia memperhatikan tubuhku dari atas sampai bawah, tanpa ada yang terlewat. Ya, beginilah rupaku hari ini. Tubuhku layu, seperti kurang air dan gizi. Tidak sedap dipandang karena mata sayu, seperti orang yang baru menenggak anggur. Dan persis di hadapanku adalah seseorang yang berbeda jauh dengan kondisiku. Namanya Bianca, cantik.

“Kamu lagi nggak mabuk, kan, Bim?” sudah kutebak pertanyaannya dari beberapa detik yang lalu. Entah sadar atau tidak, aku memang benar-benar sedang tidak mabuk. Sore tadi bahkan hari ini, hanya teh hangat yang baru mengisi kekosongan perutku. Rasanya pun tawar, sama sekali tidak pakai gula, karena aku belum bisa membeli gula sejak lima hari yang lalu.

“Aku serius, Bi!” tegasku.

Oke, aku tidak ingin lagi menerawang dirinya akan berkata apa. Kubiarkan ia berdiri di hadapanku sesuka hati dia.

“Ok, sekarang aku tanya,” ia menghirup napas dalam-dalam dan memantapkan pertanyaan. “Udah punya apa kamu, sampai-sampai kamu berani ngomong kayak gitu?”

Deg. Dia benar-benar seperti menamparku telak. Sial! Aku meraba hidupku sekejap. Benar, memangnya apa yang aku punya hahahahaha. Gula pun aku tak punya, bagaimana nanti jika Bianca sedang terbaring lemas dan memintaku untuk membuatkan teh hangat, ah memangnya dia suka teh tawar?

“Hanya itu?” kalimat tolol yang terlontar tiba-tiba.

“Bualan apalagi yang harus aku dengar sekarang?”

“Aku ingin jadi lebih baik bersama kamu, Bi. Perempuan yang dengan sabar dan perlahan mengubah keadaanku. Membangkitkan aku yang terjatuh dari banyak kubangan. Aku hanya ingin itu!” ucapku dari hati.

Bianca sinis menatapku, “Pernah dalam pikiran kamu terbesit untuk apa aku melakukan itu? Pernah dalam pikiran kamu, akan ada perempuan yang hadir dalam hidupmu seperti sosokku? Apa pernah dalam pikiranmu kamu ingin membahagiakan aku? Pernah?”

Tamparan telak untuk kedua kali.

Aku mematung mendengar balasan Bianca. Bercermin pada diri sendiri. Ah, Bianca memang perempuan yang selalu memberikan kejutan dalam hidupku. Aku menyayanginya, namun melalui percakapan berat ini, rasanya yang dia tanyakan memang belum kupikirkan jawabannya. Boro-boro untuk menjawab, pertanyaan yang ia lontarkan pun tak terbersit dalam pikiranku. Lelaki macam apa aku ini yang tega menawarkan segelas teh tawar untuk kehidupannya. Tidak ada rasa manis, hanya tawar, apa bisa memberikan kebahagiaan seperti yang dia inginkan?

Aku belum berani menatap matanya. Sungguh, jika ada tombol undo dalam kehidupan akan kugunakan untuk menghapus seluruh percakapan ini.

“Bima!” Bianca mencari kedua bola mataku. Mengangkat daguku agar pandang kita bisa saling beradu. Matanya sedikit berair, aku yakin dia sedang menahan tangis karena aku. Dasar cengeng!

Aku menatapnya, “Aku punya cinta buat kamu!”

Ha-ha-ha—lagi—betapa tololnya aku ini.

Bullshit! Memangnya yang aku butuh cuma cinta?!” Bianca bertanya sambil mendengakkan kepala ke langit, mengusap pipinya yang basah. “Egois kamu!” tukasnya sambil memukul dadaku dengan tasnya.

Lalu, Bianca pergi meninggalkan percakapan yang kubiarkan mengambang di udara dan memenuhi sesak di hati. Pikiranku mulai jenuh dengan semua kebodohan yang telah kuberikan untuknya. Sejak hari itu, satu-satunya yang masih setia bersamaku hanya segelas teh. Tanpa gula. Tanpa Bianca. Rasanya tawar begitu saja.

***

Pagi ini, aku terkulai lemas di atas kasur dengan sprei yang berantakan. Sepi dan dingin. Sudah kubilang, sarapanku pagi hari adalah teh tawar, yang kantung tehnya pun bekas alias sudah kupakai sore kemarin―juga tidak ada gula. Tapi, aku punya sebotol anggur, yang isinya paling hanya tersisa dua gelas lagi.

Pikiranku terbang tidak terkendali. Hatiku kehilangan pijakan, tidak terkontrol dan berdebar-debar. Aku menenggak satu gelas anggur lagi, aku ingin memusnahkan kepenatanku sejenak. Kutengok perempuan di sebelahku, ia masih tertidur pulas hanya dengan tertutup sehelai selimut. Aku tersenyum pagi ini, sebab bisa memusnahkan kepenatanku selamanya―bersamanya.

Sebatang rokok kuambil dan kunyalakan korek. Kuhisap dalam-dalam agar sesak ikut mengepul dalam asap rokokku dan terbawa keluar dari hatiku. Belum tiga menit aku menyesap habis rokokku, ia mengigau, “Mas, aku nggak bisa napas karena rokokmu!"

Aku tersenyum mendengar suaranya yang serak dan manja. Lucu.

Kuperhatikan tubuhnya bergeser menjauhiku. Membelakangiku dan mengurung wajahnya dengan selimut agar asapnya tidak terhirup olehnya. Aku semakin geli, semakin kumainkan asap rokokku menuju dirinya. Beberapa kali sampai ia batuk-batuk. Biarkan saja, biarkan ia merasakan penatku sekali-kali.

Tak sampai 7 menit aku menyesap habis rokokku, tapi asapnya masih mengepul padat di kamar. Bau rokok yang khas bagiku adalah teman kepenatan yang kusukai. Langsung kumatikan rokok dan menenggak teh tawar yang tersisa beberapa sendok lagi. Aku memperbaiki posisi tubuhku, kuhadapkan diriku tepat di belakang perempuanku. Aku merapikan rambutnya yang berantakan dan tidak tertutup selimut. Entah ia tertidur atau tidak, aku yakin ia bisa merasakannya.

Ia berbalik badan dan menghadapku. Menatapku sangat dalam. Aku selalu merindukan tatapan itu, tatapan manis yang selalu meneduhkan, juga menghangatkan.

Ia tersenyum, “Selamat pagi, Mas.”

Aku tersenyum mendengarnya.

Tangannya merapihkan rambut gondrongku yang acak-acakan. Menyibakkannya di belakang telingaku, tangannya sangat lembut dan juga menghangatkan. Dan yang kusuka, satu kecupan bibirnya mendarat di pipiku.

Ia tersenyum, lalu masuk ke dalam pelukanku yang hangat oleh tubuhnya. Hatiku berdesir. Aku bahagia bersamanya. Semua penat yang hidup dalam jiwaku seketika mati, juga soal perdebatan modal pernikahan kala itu. Semuanya telah berlalu.

Ia mencintaiku dengan sederhana. Katanya, semua perkataan yang pernah menamparku telak adalah penguatan untukku, ia hanya ingin melihat kesungguhanku sebagai seseorang yang benar-benar menyayanginya. Dan benar, ia mampu mengajarkanku arti bertahan dan berjuang—juga menyadarkan ketololanku. Pun sampai detik ini kami masih bertahan meskipun hanya ditemani dengan segelas teh tawar.

Pada akhirnya tidak ada yang bisa mengalahkan perasaan dua orang insan yang saling mencintai, tanpa seizin-Nya. Jika dipikir menggunakan logika, bisa saja ia memilih meninggalkanku dan bersama laki-laki yang sangat bisa memberikan kebahagiaan lain untuknya. Atau, dengan laki-laki yang tidak miskin sepertiku. Hanya bermodal keyakinan hati dan segelas teh tawar. Teh yang tidak punya identitas apapun kecuali tampaknya yang berwarna coklat. Rasapun tidak ada yang bisa ditawarkan. Tapi melalui segelas teh tawar pula, Tuhan mengizinkan—juga menunjukkan kepekaan lidah—juga hati—seorang perempuan. Seorang perempuan yang dapat menemukan arti kebahagiaannya meski hanya dari segelas teh tawar milikku, seorang perempuan yang menawarkan rasa lain dalam segelas teh tawar dan seorang perempuan yang hidup dalam jiwaku bersama teh tawar.

“Selamat pagi, Bi.” kataku sambil mendaratkan kecupan hangat pada keningnya yang bersih dari anak rambut.

Sebelum kami memutuskan menikah, Bianca bercerita, “Kamu dan hidupmu aneh. Terlalu asyik minum teh tawar, sampai kamu lupa rasanya manis dan pahitnya kehidupan. Dan anehnya aku, seorang perempuan yang bisa menerima lelaki seperti kamu yang hanya bermodalkan segelas teh tawar,” suaranya meledak.

“Dan kamu, satu-satunya perempuan yang bisa berlapang dada menerima ketololanku."

"Juga segelas teh tawarmu." katanya.

Tawa kami mengudara di hari itu. Di hari itu pula, ia sampaikan Aku gula yang memilih masuk ke dalam segelas teh tawarmu, kemudian hidup di dalam jiwamu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pulang

Menamu

Mati Suri