Tidak Lagi Sendiri

Secangkir teh hangat asapnya masih mengepul-ngepul menjadi teman setia setiap pagi. Matahari seperti kelelahan, sinarnya tidak begitu cerah.  Sederhana, hanya ada aku dan Bunda. Setiap pagi kami selalu bercerita, kali ini mengenai ayah. Memang sudah menjadi rutinitas kami.

Ayah. Mengenai ayah, yang benar-benar aku tahu adalah namanya. Widan Natawan. Sosok ayah bagiku semu, tidak pernah kulihat sosoknya seperti apa, hanya bisa kubayangkan melalui cerita bunda. Jangankan untuk mendengar ayah berbicara, sekadar merasakan kehangatannya pun belum pernah kurasakan. Tak apa, bersama Bunda aku lengkap dan seperti sedang bersama ayah. Kata bunda, ayah selalu ada bersama kita, jadi tidak usah khawatir.

"Ayahmu, setiap pagi selalu menyempatkan berolahraga, Nak," mata bunda menerawang langit-langit. "Hobinya berolahraga."

Nada bicaranya benar-benar semangat. Bunda selalu asyik menghabiskan waktu jika membicarakan ayah. Tiap kali beliau bercerita, aku bisa mengawang sosok ayah sedang ada di ambang pintu; tersenyum memerhatikan kita.

Satu-satunya ayah yang nyata ada dalam bingkai foto. Bunda memajangnya di ruang keluarga. Jelas sekali ketika aku mematung melihat wajah ayah, ayah selalu tersenyum balik kepadaku. Waktu itu usiaku baru menginjak 2 bulan, kata bunda menjelaskan ketika aku menengok ke arah pigura itu. Sesekali di sela-sela bunda bercerita, secangkir teh dan biskuit dilahapnya. Tidak terasa hampir setengah teko teh kami habiskan.

Matahari kali ini hanya mengintip dari balik awan. Setiap kali angin berdesau, cerita bunda selalu terngiang dalam memoriku. Seolah angin membawa cerita lain. Perempuan yang selalu bercerita tentang ayah, bahkan sudah menjadi sosok tokoh yang diceritakan.

"Bundamu dulu itu sebenarnya tidak suka dengan ayahmu. Mereka dijodohkan oleh nenek," kata nenekku dengan sedikit khasnya, menggosok-gosokkan giginya dengan daun sirih yang dilipat-lipat.

Tiap kali nama bunda disebut, aku merasakan tangannya yang lembut mengusap puncak kepalaku. Bibirnya pun tidak pernah lupa menyapu keningku, aku hangat mengingatnya.

Nenek bercerita mengenai bunda. Bunda kecil sama nakalnya dengan kamu, kata nenek.

“Bundamu suka sekali memasak, padahal nenek tidak pernah mengajarkannya. Setiap nenek masak, bundamu sebenarnya hanya memerhatikan, terus belajar sendiri, sampe-sampe dapur kayak kapal pecah.”

Cerita nenek sempat menggantung beberapa detik ketika mendengar rintik hujan yang tiba-tiba datang tanpa permisi. Nenek sangat takut tiap kali hujan turun. Kedua tangannya sudah siaga di masing-masing telinganya, barangkali petir tiba-tiba menyambar dengan sangar.

Lain untuk hari ini. Rinai tetesan hujan dan petir beradu kuat. Hujan lebat dan petir yang dahsyat. Untunglah nenek sedang pulas tertidur. Dunia mimpi menenggelamkan suasana luar. Kalau saja nenek sadar, kedua tangannya pasti sudah siaga berada di masing-masing telinga. Tapi kenyataannya, kedua tangannya tertidur lemah di atas perutnya. Napas pendeknya sesekali bersuara. Dalam keadaan tertutup, matanya sudah sangat layu. Rambut putihnya yang sangat tipis kali ini dibiarkan terurai. Anak rambutnya beberapa menutupi kerutan di keningnya. Aku tersenyum di sebelahnya dengan kepala tergeletak.

"Re, makan dulu, ya. Seharian kamu belum makan," ucap seseorang.

Namanya Wildan Rahadian. Hampir mirip nama ayahku. Widan. Bola mataku langsung menangkap bingkisan di tangannya. Ia menatapku tersenyum.

“Ini, Re. Jangan diliatin doang, dimakan.”

Telapak tangannya mengusap puncak kepalaku, persis seperti bunda mengusapnya. Aku mengangguk. Ia memang serba tahu kalau perutku benar-benar kosong. Sudah seharian penciumanku kubiarkan menghirup aroma obat-obatan. Alat infus, kursi roda, ranjang menjadi tontonan menyakitkan bagiku. Tidak ada udara segar di sini.

“Aku mau keluar sebentar, Wil. Kamu bisa tolong jaga Nenek?”

“Mau ke mana?”

“Cari buah. Buat Nenek.”

“Hati-hati, cepat kembali.”

Di koridor langkahku berat sekali meninggalkan nenek. Untuk waktu yang sangat singkat aku menyempatkan membeli buah kesukaan nenek. Buah pepaya. Tidak sampai sepuluh menit aku kembali.

Buah pepaya yang masih terbungkus rapi dalam bingkisan, jatuh ke lantai. Aku melihat Wildan menuju ambang pintu, tempat aku berdiri. Aku terjatuh. Tidak percaya jika nenek tidak mengizinkanku untuk memberinya pepaya. Satu suapan saja.

Tangisku berderai, tubuhku jatuh terkulai. Lengan kuat menuntunku berdiri menuju nenek. Aku lihat sosoknya tertidur pulas di ranjang, dengan penutup tubuh putihnya. Nenek bahkan tidak pamit kepadaku. Nenek pergi saat aku beranjak pergi.

Tinggal aku sendiri.

Tidak ada ayah.

Tidak ada bunda.

Tidak ada nenek.

Hanya Rena. Diriku.

Arlogi kamar berdenting nyaring. Mataku mengintip luar dari balik tirai jendela, pagi-pagi sekali matahari sudah bangkit dari peraduannya.

“Selamat pagi, Re,” sapanya sambil mengecup keningku. Hangat sekali. Kedua tangannya membawa nampan yang berisi semangkuk bubur dan segelas air putih. Aku yakin itu adalah buatannya. Aromanya berkuar ke segala ruang. Ia meraih mangkuk itu, tangan kanannya menyendok bubur dan menyuapkannya kepadaku.

Aku tersenyum.

“Wil, terima kasih. Aku menyayangimu.”

Tubuh Wildan kuraih dalam dekapanku. Tangannya juga mendekapku balik. Aku bisa merasakan irama jantungnya berdetak seirama dengan detak jantungku.

“Aku juga menyayangimu,” katanya tersenyum. Anak rambutku disibak olehnya, diselipkannya di antara tulang dan daun telingaku. Lekukan senyumannya sangat jelas. Tanganku gemas sekali melihat kumisnya yang sudah tidak beraturan. Aku mencukur paksa kumis itu dengan tanganku.

“Aw, sakit, Re!”

Aku terkekeh sementara ia mengusap bagian atas bibirnya yang ditumbuhi kumis tipisnya. Lucu sekali.

Bunda benar, setiap pagi adalah momen yang indah untuk berkumpul. Ditemani secangkir teh dan biskuit di atas meja, aku memerhatikan Wildan berolahraga. Aku juga sudah siapkan koran, biasanya selepas olahraga Wildan selalu membacanya. Rutinitasnya membuat tubuhnya atletis, aku sangat menyukainya. Sosok yang mirip sekali dengan ayah, hobi berolahraga. Namanya pun hampir serupa. Sosok yang selalu mendaratkan kecupannya di keningku, hangat seperti bunda. Sosok yang tawa renyahnya persis seperti nenek.

Sudah hampir empat bulan aku menjadi teman hidupnya. Sepasang yang menjadi pelengkapnya. Aku tidak lagi sendiri, dirinya yang ganjil telah menggenapkanku. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pulang

Menamu

Mati Suri