Kubangan Luka Bernama Kenangan

Di pagi yang mendung, burung-burung sudah sibuk bersenandung. Jejaknya terhuyung-huyung, terhitung sejak lembayung mengepung dirinya dengan segumpal tanda tanya yang menggantung di kepala. Selalu saja ada yang merenggut bahagianya, selepas bunga-bunga rindu hampir bermekaran indah. Isi otaknya telah dirombak. Harapannya rusak. Segala pikirannya telah dikoyak. Sisanya adalah imajinasi yang berdiri tegak. Baginya, hidup adalah imajinasi—saat ini. Imajinasi adalah kehidupannya. Imajinasi menghidupkan kehidupannya. Tanpa imajinasi hidupnya redup. Tak hidup.

Betapa berharga imajinasi dalam dirinya.

Berhari-hari hatinya rapuh. Jiwanya luruh. Tubuhnya jatuh. Runtuh. Seakan terbunuh.

Di pagi yang tidak cerah, hanya setitik cahaya terlempar dari ufuk timur, sedikit indah. Langkahnya dipaksa pindah dari antah berantah. Selalu saja ada yang merobek suka menjadi luka yang sangat basah. Memaksa memori cepat punah. Ikut mengalir dalam darah. Tumpah bersama amarah. Membuat resah dan gundah. Tidak lagi indah.

Berhari-hari jiwanya tandus. Tubuhnya mengurus. Hatinya tergerus. Pikirannya direbus. Semua terjadi terus-menerus.

Begitulah hidup, demikian redup.

Entah bagaimana keceriaan dalam sosoknya menghilang, dan mengubahnya menjadi momok menakutkan. Separuh hatinya masih merasa diolok-olok. Separuhnya lagi sudah bonyok. Logikanya rontok.

Secangkir teh di meja makan rupanya akan menjadi pelipur laranya. Segunduk roti di sebelah tehnya juga akan menjadi teman gulananya pagi ini. Begitupun dengan buah-buahan, sepiring nasi beserta lauk pauknya. Semua sudah tersedia.

Ada sepucuk surat tergeletak. Sebagian surat sudah sedikit terbuka, membiarkan kata-kata mengintip dirinya: meminta dibaca. Pada muka surat tertera jelas nama Sheena Annisa. Nama dirinya.

Detak detik arlogi terus pergi, membiarkan dirinya semakin tertinggal bersama imaji.

Menit demikian, tidak ampuh mengusir gusar besarnya.

Berjam-jam matanya dipaksa memejam. Merengkuh tubuhnya sendiri yang dibalut dendam.

Petang mampir. Matahari sudah hampir tergelincir, senjanya tinggal segelintir. Teh hangat tadi pagi masih penuh dalam cangkir. Pun den kinigan roti yang dibiarkan dimakan oleh udara..

“Sheen?”

Suara engsel mendarat, ada seorang perempuan berdiri di ambang pintu sebelum mendekat menuju ranjang dirinya. Dari matanya, tersirat duka dalam yang menjalari tubuhnya. Melihat sahabatnya—Sheena—yang hampir tidak berdaya selama hampir seminggu membuat hatinya tersayat-sayat.

Derap langkahnya terhenti sampai lengannya turut merengkuh tubuh Sheena. Memeluknya. Memberi penguatan pada dirinya. Menjangkau dirinya lebih dalam. Hanya embusan napas Sheena yang mengalir dan terasa di pundaknya. Sahabat mana yang tidak ikut terpuruk melihat sahabatnya benar-benar sedang tersaruk-saruk?

“Lu belum makan, kan? Gue bawain bubur buat lu. Lu makan dulu, ya,” Yasmine berkata dengan lembut. Ia melihat semua makanan yang ada di mejanya masih utuh, dan belum tersentuh. “Sheen, sedikit aja?” tambahnya.

Tangan kanan Yasmine dengan ligat mencecar mulut Sheena, tapi tak kunjung Sheena membuka mulutnya. Ia benar-benar bungkam. Diam. Masih tenggelam dalam kelam.

“Lu udah hampir seminggu begini, dan mau sampe kapan?”

Diam itu tetap mengalir jika Yasmine tidak terus memecah keheningan.

Berkali-kali Yasmine datang ke rumah Sheena. Melihat diri Sheena benar-benar kosong. Dan sekarang, hari kelima Yasmine masih benar-benar kehilangan sahabatnya.

“Sheen, lu tau kan, bukan lu doang yang kehilangan diri lu. Gue juga. Nyokap lu. Bokap lu. Semua kehilangan diri lu!” tangannya menggenggam tangan Sheena yang semula dilipatnya di atas lutut. Sebelah tangannya menyibak anak rambut, menyelipkannya di belakang daun telinga Sheena. Kemudian mengusap keningnya yang penuh peluh-peluh.

“Tapi gue mohon, gue ngga mau kehilangan dua sahabat gue sekaligus.”

Tubuh Sheena tetap bergeming.

Pelupuk mata Yasmine begitu berat menahan bulir mata yang hampir mengalir. Isakannya terus ditahan. Bagaimanapun juga, Yasmine tidak bisa memagari ketegarannya jika terus melihat Sheena seperti ini.

Mata Yasmine melirik surat yang tergeletak dengan kondisi setengah terbuka. Hal itu justru turut membawanya pada kursi pesakitan. Yasmine memang tidak tahu persis malam itu, hal tersebut yang membuat hati Yasmine beringsut membaca isi surat. Ketika malam memamerkan segala gemerlapnya tiba-tiba datang seorang laki-laki yang dengan tega menyulap semuanya menjadi malam yang pengap dan gelap.

Suasana kafe yang bersahabat terasa sekali. Musik mengepung gendang-gendang telinga pengunjung. Satu meja dan empat kursi sudah dipesan tiga puluh menit lalu. Nomor 19 menjadi meja beruntung malam ini.

“Finally...!” kata Sheena terduduk di kursi kafe. Menyandarkan tubuhnya. Diikuti tiga sahabatnya. Ziam, Rian dan Yasmine.

“Kebayarlah capeknya!” Yasmine mulai ikut bersuara.

Perlengkapan mereka langsung ditumpuk di bawah meja. Menenggelamkan lelah bersama-sama dalam kafe.

“Zam? Lu ngga papa? Pucet banget,” tanya Sheena yang melihat Ziam daritadi terus mengurut keningnya.

“Ngga papa, vertigo lagi kambuh aja. Ntar juga ilang sendiri, ko.” Sheena tidak yakin, ia kembali bertanya, “yakin ngga papa?”

Ziam hanya menganggukkan kepalanya yang terasa berat. Sudah kesekian kalinya dalam kafe ini kepalanya berdenyut nyeri dan tak kunjung surut. Sekuat tenaga, Ziam meyakinkan dirinya dan sahabatnya. Sheena, Yasmine, dan Rian. Ziam hanya melempar senyum kecil.

Dua jus strawberry, coklat panas yang aromanya begitu pekat, cappucino panas dan tiga tangkup roti bakar datang sebagai hidangan. Semua memadati meja selepas pelayan membawakannya dengan nampan. Masing-masing perut mereka yang kosong siap diisi. "Makasih, Mbak,” Sheena tersenyum mengangguk kepada pelayan

"Emang paling pas! Coklat panasssss dan roti bakaaaaaarrrrr," Rian mulai membuka suara dengan gaya hiperbolanya. Berkali-kali ia menghirup kepulan asap-asap yang keluar dari cangkir sebelum benar-benar menyeruputnya. "Nah, ini bro paling cocok buat lu kalo lagi pusing," ucap Rian sambil mengangkat cangkirnya ke depan hidung Ziam. Aromanya memanggil. "Sekali sruput.....," Rian diam sejenak menyeruput cokelat panasnya, "pusing suruuuut," imbuhnya begitu gembira.

Hanya sabit bibir Ziam sebagai balasan untuk Rian.

"Rakus lo!" kata Yasmine meledek.

"Kalo rakus itu begini, Yas!" Jus strawberry milik Yasmine ditarik paksa oleh Rian, lalu diseruputnya.

"Ihhh! Riaaan!"

Gelak tawa Rian memenuhi isi kafe. Untung saja malam ini suasana kafe cukup lengang. Hanya ada beberapa kursi lain yang terisi, sekitar dua dan tiga orang, jadi tidak memalukan.

Masing-masing dari mereka kemudian asyik mengisi perut. Ziam memesan cappucino tanpa roti bakar, Yasmine jus strawberry dan roti bakar, Rian dan Sheena roti bakar juga cokelat panas. Raut-raut wajah lelah terpancar jelas. Setelah selama tiga hari mereka liburan di Bandung. 

Layar smartphone Sheena tiba-tiba menyala terang. Edo, nama yang muncul di bagian teratas, menjadi pengisi kotak masuk.

Aku di depan rumah kamu, ada yang mau aku omongin, Sheen.

Tangannya kemudian membalikkan tubuh smartphone-nya. Sekilas tersenyum paksa. Yasmine yang sejajar dengan dirinya, sempat melirik isi pesan itu. Sheena lantas terburu-buru menghabiskan cokelat panas dan roti bakarnya. Ia mengeluarkan isi dompetnya. Meletakkan beberapa lembar uang kertas berwarna-warni di atas meja.

Sekali lagi, cokelat panas disesapnya. "Gue harus pulang duluan. Kalian lanjut aja, have fun!"

Langkah kakinya bergerak cepat. Dalam hitungan detik, Sheena sudah meninggalkan mereka. Perlahan punggung Sheena hilang seiring jarak.

Kepulangannya yang tergesa-gesa ternyata membawa musibah. Dalam perjalanan Sheena mengalami kecelakaan yang cukup serius. Tidak ada yang tahu persis kejadian itu di antara Ziam, Rian dan Yasmine. Semua terjadi seperti kejutan yang tidak diharapkan. Bahkan Edo, kasih lamanya, pun tidak tahu menahu. Kabarnya sekarang hilang. Meninggalkan pil-pil pilu.

Sejak saat itu, mereka kehilangan sosok Sheena.

Malam ini purnama utuh berdiri gagah di pelataran langit. Lebih cerah tanpa kabut-kabut dan awan-awan. Lagi, malam tetap kelam baginya. Sepasang bola mata hanya mampu melihat hitam. Bayangan hitam seketika tumbang dan semua tenggelam. Menghitam.

Sepasang bola mata tanpa cahaya. Membabi-buta jutaan cerah. Sepasang bola matanya buta. Hitam merata.

Selang satu hari, tangis benar-benar berderai. Menceraikan satu-persatu suka dan kubangan luka bernama kenangan. Lamat-lamat seluruh imajinasinya menyulutkan api semangat. Membangkitkan diri dari sakit. Menerbitkan halaman baru dalam kisahnya. Semua kembali.

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.

***

Selasar rumah sakit baru saja terbuka. Tirai tipis menjadi penghalang setiap ranjang rumah sakit dalam setiap ruangan. Jatuh bangun tongkatnya menuntun tubuh mungilnya menuju seseorang. 

"Sheena?"

Suara bariton lemahnya keluar saat melihat Yasmine memapah tangan Sheena menuju Ziam yang terbaring lemas. Senyum Sheena sektika mengembang. 

Rian yang semula duduk di sebelah ranjang Ziam, kemudian bangkit ikut mengiring Sheena. Yasmine benar-benar bahagia melihat Sheena sudah kembali seperti sedia kala. Meskipun tetap ada yang berbeda. Mereka berempat kembali menghirup udara segar setelah melihat Sheena. Mereka lalu berbincang-bincang santai seolah tidak ada yang berbeda. Sheena tetaplah Sheena bagi mereka. Sementara keadaan Ziam yang sedang sakit, bagi mereka hanyalah sementara.

Baru saja Yasmine kembali membeli snack dan minuman dingin dalam satu kantong plastik besar. Isinya tentu saja menjadi perebutan di antara mereka. Apalagi Rian yang dalam hitungan detik menandaskan isi gelas es jeruk. Sisa-sisa es batunya langsung dimasukkan ke dalam mulutnya, geletuk suara gigi Rian yang menggerus es batu menjadi pemecah tawa seketika.

"Bener-bener..." Yasmine menggeleng-gelengkan  kepalanya dan terkekeh melihat tingkah Rian seperti anak kecil. Ziam pun ikut menyumbang tawanya, begitupun Sheena yang dalam kondisi apapun tetap tertawa melihat sahabat-sahabatnya.

Mulai sejak itu, Sheena yang tidak lagi melihat, tetap memahat kebahagiaan yang tidak bisa dilihatnya lagi. Sheena mulai meniti perjalanan hidupnya. Tidak lagi memerlukan pemilik sebuah nama Edo, yang memaksa dirinya pindah ke antah-berantah bernama luka. Baginya, memiliki sahabat seperti mereka sudah cukup. Sahabatnya adalah anugerah dariNya. Seperti nama dirinya, Sheena Annisa. Pemilik arti wanita yang menjadi anugerah terindah. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pulang

Menamu

Mati Suri