Pesan Dariku, Tuan

Yang sedang bersedih, Tuanku, semoga pesanku cukup menenangkanmu.

Sebelumnya, maafkan aku karena tidak pernah berhasil menghiburmu, sekadar menenangkan—menghantarkan sebuah pelukan dan kecupan hangat, misalnya. Ketahuilah, ada perasaan yang muncul dan menjelma seperti yang kamu rasakan. Kacau, katamu. Tidak tahu harus apa—ketika pikiranmu benar-benar sedang buntu. Percaya atau tidak, di sudut ruangan lain, ada khawatir dan getir. Ada diriku, perempuan yang ikut luruh dalam kerapuhanmu. Sosok yang tidak terlihat di depan matamu, tapi nyata memelukmu dengan lengan doa-doaku. Percayalah, ada yang sedang merengkuh relungmu, berusaha ikut mengangkat tajamnya belati yang menusuk sampai rusukmu—yang sakitnya teramat dalam bagimu. Sadarkah, tetes airmatamu turut memecah tulang airmataku, sehingga keduanya beriringan mengalir jernih pada pipi dua insan. Kau dan aku. Aku ingin berusaha mengiringmu, lalu kita seiringan menepi pada akhir kesedihanmu. Agar lukamu lekas hanyut dirombak ombak menjadi suka dan bahagia. Tapi, nyatanya, belum pernah berhasil semuanya kulakukan. Perihal menghempas kecemasanmu waktu itu saja, aku terengah-engah, sampai kaujengah dengan segala usahaku. Atau pengalihan topik yang selalu kuusung, agar dirimu lupa sejenak masalahmu. Dan lagi, perih dalam dadamu menguasai yang ada pada dirimu, terlalu kuat terpahat. Tapi, tenanglah, usahaku tidak berhenti sampai lukamu terobati.

Tuan, kini giliranku untuk memelukmu. Habis-habisan menghajar keluh-keluhmu, kauhebat, Tuanku. Tidak banyak yang bisa kuperbuat, hanya penguatan dariku untukmu, supaya dirimu tidak jatuh, apalagi runtuh. Jangan tanyakan apa yang ingin kulakukan, tapi tunggulah sampai semua menjadi sebuah kebahagiaan yang nyata untukmu.

Tuan, aku memelukmu, mengecup hangat keningmu, agar setidaknya malam ini dirimu ada di jalur kesedihan yang benar. Tuhan selalu tahu aku menyebut namamu sungguh-sungguh dalam setiap simpuhku. Jadi, berhentilah menghukumku dalam ketidakbisaanku dalam menghiburmu. Sebab doaku terlalu panjang untuk diceritakan, jadi biarlah Tuhan yang mendengarkan.

Jangan bersedih, Tuan.
:)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pulang

Menamu

Mati Suri