Halaman Terakhir



Sebait puisi terakhir baru saja ia ucap dengan lirih. Rak buku beserta buku-buku di ruang tersebut seakan menjadi penikmat, seolah mereka sedang menonton pertunjukan pembacaan puisi. Buku yang digenggamnya―jika ia dapat berbicara―merasakan getaran nadi yang begitu hebat; degup jantung berirama cepat; bayangan masa lalu yang pelan-pelan merambat kuat. Setiap baris puisi tersebut mengingatkannya pada suatu masa. Satu per satu halaman membaca mimiknya, begitupun dirinya yang membaca isi halaman dengan mimik terbaiknya. Kenangan menenggelamkan angan-angan terdahulunya.

Sejumput rindu terjemput, merasuk, menusuk rusuk...

Secangkir kopi diseruput oleh bibir merahnya, aroma pahit mulai menguasai ruangan. Ia berdiri sambil memegang cangkir yang masih berisi setengah kopi, memandang sejenak langit yang menangis. Diara kemudian membalikkan punggungnya dan mengangkat bahunya, melirik Ana sahabatnya. “Kamu cuma tau rahasia cuaca hari ini, Di,” ucap Ana.

“Dan rahasianya langit yang menangis? Menyakitkan, Na,” timpalnya sembari menghela napas panjang. “Setiap hari aku di sini, menunggu, lalu dia kembali, tapi kenyataannya aku bukan hal yang membuat dia kembali ke sini.”

Diara dan Ana bisa merasakan betapa kencangnya langit menangis, disertai riuh ranting-ranting pohon dan angin-angin malam. Ana mendekatinya dan memeluknya, memberikan penguatan untuk dirinya. Diara adalah seorang perindu berat, merindukan seseorang yang bahkan tidak peduli dengannya; diacuhkan―menurutnya.

Menyapa senyap, menjamah tandus, berdiri melepuh di antara riuh

Malam begitu pekat di Tangerang menambah kesan keheningan yang semakin mendalam. Salah satu kafe di sana begitu sepi, tak lebih dari lima pengunjung. Bahkan volume suara musik yang kecil terasa begitu kencang. Karena pengunjung di sini begitu sibuk dengan urusannya masing-masing. Beberapa di antara mereka hanya kerap menoleh basa-basi.

“Dia..ra? Kamu di sini?” Seorang lelaki meruntuhkan keheningan dalam dirinya di sana, Diara melirik orang tersebut, terkejut.

“Bara?” ia bertanya dengan gugup, wajahnya seketika memerah―mengingat masa di mana amarah dan egonya ada di ambang pikiran. Ia sempat membuang muka, memastikan semuanya tidak akan berlanjut dan hanya sebatas ilusi. Namun, laki-laki tersebut tetap di depan penglihatannya. Bara kemudian menarik sebuah kursi dan mengambil posisi tepat di depan Diara. Diara hanya mematung memerhatikannya. Bara menatapnya sebagai seorang perindu.

“Kamu apa kabar, Di?”

Diara membungkam, ia benar-benar jelas memperlihatkan gestur tubuhnya bahwa ia sangat gelisah di dekat Bara. Mata Diara selalu melemparkan fokus ke sana kemari setiap Bara mengejar arah bola matanya. “Di?” Bara terus berusaha memecah keheningan di antara mereka.

Wajah Diara mulai menyimpulkan senyum kecil. “Kamu apa kabar? Selama ini ke mana aja?” ia bertanya―meminta sebuah penjelasan lebar tentang perihal dirinya yang sempat menenggelamkan dirinya―dengan suara parau.

“Aku baik, Di. Oh iya, gimana dengan skripsimu?”

“Aku sudah lulus sejak tiga bulan yang lalu.”

“Wah, selamat Ibu Diara hehehe. Sekarang ngajar di mana?”

Keduanya berbincang-bincang hingga keduanya sempat tertawa lepas, seakan-akan ego Bara ataupun Diara meredam karena rantai waktu yang masih terikat di tubuh mereka. Namun keduanya kini sama-sama sebagai perindu. Mereka hanyut dalam nuansa lama yang terasa sangat baru.

Aku tak ingin luka terbuka lagi yang kedua kali..

“Di, bagaimana?”

Bara dan Diara sedang berada di sebuah kafe tempat mereka bertemu lusa lalu. Di sana Bara ingin meluruskan hubungan mereka. Diara merasa berat hati menerima permintaan Bara, karena ia yakin tentang tujuan Bara mengajaknya ke sini. Diara begitu yakin, ia masih paham dan mengerti betul sikap Bara―Bara memang belum berubah.

“Hey, Di? Diara?” Bara meruntuhkan pelamunan Diara. Ia menatapnya dengan mata berbinar, penuh harapan.

“Maaf, Bar. Aku ngga bisa, dan kamu pasti tahu alasannya.”

“Untuk kesempatan yang kedua, Di?”

Ngga semudah itu, Bar, maaf.” Ucap Diara menahan bendungan air bah di matanya. Ia tidak berani menatap kedua mata Bara, ia hanya takut luka itu terbuka lagi. Menurut Diara semuanya sudah selesai, ia tidak mudah memberikan kesempatan kedua untuk laki-laki yang pernah menghilangkan diri dan memaksa cerita usai begitu saja. Sementara Bara menjadi sangat kecewa pada dirinya sendiri. Terlihat banyak penyesalan pada raut wajahnya.

        Terkurung, kepak sayap terikat rantai waktu

        Bebas melepaskan diri

Sampai hujan mereda, Diara dan Ana masih berada di tempat yang sama. Keduanya saling berpelukan; Ana memeluk erat Diara; hujan meruntuhkan masa lalunya. Diara bangkit. Diara melihat pelangi di depannya. Tersenyum dan kembali berharap.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pulang

Menamu

Mati Suri