Terbenam

Untuk teman saya yang merindukan seseorang.

_____________

Melihat api bekerja. - Aan Mansyur. Ia membuka sebuah buku yang ada di genggamannya, lalu membacanya. Tapi, sejurus kemudian, ia menutupnya kembali. Mengulang satu kalimat awal pada subjudul dalam buku itu. Seakan melakukan instingnya, lalu memori memutar semuanya, kebahagiaan dahulu yang ia harapkan tidak akan pernah berlalu. Yang sempat disematkan kepadanya, dari seseorang yang belum berlalu.

Memang. Seharusnya, bumi tidak memiliki banyak bulan. (Menenangkan Rindu.- Aan Mansyur). Ia tersenyum lesu. Penegasan ulang kalimat itu terdengar begitu lirih. Lalu, perlahan ia bangkit dan pergi. Sekarang, ia sudah berada di sebuah danau, seolah tubuhnya mengerti bahwa yang ia inginkan saat ini adalah di sini.

"Sedang apa?"

Ia menoleh, mendapati seseorang di depannya menatap dengan perasaan setengah merindu. Ia mengabaikannya.

"Sedang apa?" lelaki itu bertanya untuk kali keduanya. Namun, ia masih mengabaikannya, dan berjalan kembali menuju tempat yang jarang sekali dijamah banyak orang. Namun, Arya terus mengekornya.

"Ada apa?" Arya memotong jalannya, dan terus berusaha memecah keheningan di antara mereka. Sesekali angin usil, memberikan embusan dingin kepada mereka. Begitupun dengan Ranu yang membiarkan sikap dinginnya terus mendingin diembus angin.

"Tolong biarkan saya di sini," untuk meyakinkan hatinya, ia menatap kedua mata Arya, "sendiri." Ranu berusaha membiarkan hatinya menangis sekencang-kencangnya, meskipun Arya tak akan pernah mendengarnya. Menurutnya, bersama Arya adalah seperti langit yang menyimpan bulan-bulan.

Ranu menepi pada sebuah gubuk kecil yang hanya ada dia seorang di sana. Semuanya ia tumpahkan. Hujan turun pada pipi tandusnya. Jangan berani mengetuk kalau belum berani menetap. Suaranya terdengar lindap, kalah oleh isak tangisnya. Matanya memejam. Satu demi satu, ia merasakan air yang jatuh mulai menyejukkan pikirannya—memaksa perasaan pergi. Ia siap digiring, dan terbenam bersama senja sore yang menyala terang. Matahari yang membulat tersenyum manis di hadapannya. Seolah mengizinkan ia tenggelam dalam lautan jingga berpendar-pendar.

Saya tidak akan pernah lupa, terima kasih telah memberikan sebongkah hadiah kebahagiaan kepada saya, saya akan menyimpannya rapih di sini. Ranu menguatkan hatinya, sekali lagi ia berusaha menjangkau hatinya yang terbalut rindu yang begitu pekat. Seperti serbuk kopi pekat yang menginginkan air hangat  tertuang di dalam cangkir. Di antara keduanya—ia dan kopi pekat—sama-sama menunggu.

Semakin lama ia berada di sana, tangisnya mulai mereda, angin-angin membawanya kepada matahari sore yang siap membenamkan dirinya. Dirinya terbenam.

Pagi-pagi ranting pepohonan sudah mengeluarkan suara desahnya dengan ranting lain. Dedaunan yang mulai kemuning juga sudah terkulai lemah di atas tanah. Sisanya masih dengan tangkai-tangkainya—menyembunyikan telur embun, yang nanti akan menjadi aroma biru di setiap pagi yang menyimpan rindu. Tak banyak awan, sedikitnya hanya guratan ungu yang menandakan fajar telah bangun dari peraduannya. Matahari sudah terbit.

"Kau terlihat pucat," Arya khawatir.

"Saya baik-baik saja, tenanglah."

"Aku mengerti."

"Kau tidak pernah mengerti," Ranu menyergahnya dengan cepat. "Biarkan dahulu matahari terbit dengan begitu indah. Sorenya, kau tak akan membiarkan matahari terbenam dengan kesendiriannya. Semua indah."

"Tentu saja, sesuatu yang terbenam akan terbit kemudian. Waktu hanya sedang menjedakannya."

Ranu termangu sejenak. Seakan Arya menangkap pikirannya dengan cepat. Mata mereka kembali terikat. Ranu belum merespon apapun, perasaannya masih tersekat. Ia membiarkan pembicaraan Arya menggantung bersama awan pagi. Sementara, Arya mulai meneruskan pembicaraannya. Ia berani menjelaskan semuanya satu-persatu—apa yang membuat Ranu menjauh darinya, mengapa mereka tak pernah lagi merasakan udara sehat di Minggu pagi. Ranu begitu menyimak apa yang sedang Arya jelaskan, dan kacamatanya sedikit berembun.

Lalu, sampai fajar berganti senja, mereka masih pada posisi yang sama. Keduanya kembali hangat. Kopi pekat itu sudah dituangkan segelas air hangat, membuat kopi terasa semakin nikmat. Mereka menyeruput kopi bersama-sama. Berpayung senja.

Ranu tersenyum lega. Terima kasih telah mengembalikan kebahagiaan yang dulu, saya tidak akan hanya menyimpannya, tapi membiarkan kotak kebahagiaan itu terus terbuka.
 
Ranu kembali melihat matahari sore kemarin, yang membenamkan dirinya, matahari menjemput keduanya. Mereka terbenam seiringan, dan digiring pada malam berbintang-bintang. Esok mereka akan kembali terbit bersama. Bagaimanapun, yang terbenam akan terbit kemudian. Hanya saja waktu sedang menjedakannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pulang

Menamu

Mati Suri