Rekaman Lampau

Pigura besar berukuran 40 x 50 cm yang  berlatarbelakang wajah seseorang, menjadi tontonan dari puluhan mata memandang. Di sebuah gedung berkelas bintang lima, dengan kemerlip lampu-lampunya menjadi kunjungan utama para pemuda-pemudi berbakat. Seperti menulis, ber-fotografi, ber-drama, bernyanyi dan melukis. Tidak ada penyekatan ruang antar-ikon yang diselenggarakan, sehingga semua sibuk menata tatapan dan fokusnya masing-masing.

Bentuk wajah bundar, dengan bulu mata lentik, pipi merah merona dan dimahkotai rambut hitam panjang yang tergerai indah, sangat jelas tersimpul dalam pigura. Sepasang bola mataku lebih tertarik melihat sebuah lukisan ini. Lukisan yang dipoles dengan apik. Penuh warna. Sungguh anak muda dengan talenta hebat. Selain tersimpul wajah seorang perempuan, sebuah deretan abjad juga mengisi ruang kosong di sudut pigura. 

"Ketika tidak ada lagi jeda untuk senja hadir menjinggakan mega, aku hadir dalam ruang yang terbias oleh mendung. Sendiri." - Jingga Natandita.

Kalimat yang benar-benar indah, persis seperti pelukis sekaligus penulis kalimat tersebut. Aku sempat mematung membaca kalimat itu. Kalimat yang membawaku ke masa silam. Kalimat yang ditulis entah untuk apa. Entah untuk siapa. Entahlah.

"Ketika tidak ada lagi jeda untuk senja hadir menjinggakan mega, aku hadir dalam ruang yang terbias oleh mendung. Sen-di-ri," celetukan suara perempuan yang tidak tertangkap potret pandanganku, mendarat di telingaku. Dia sengaja mengeja jelas kata terakhir dalam kalimat itu. Sen-di-ri. Aku menoleh ke arahnya. Hanya tersenyum dan masih fokus dengan lukisan tersebut. 

"Hai. Memangnya tidak bosan mengunjungi gedung ini hanya untuk melihat satu karya saja? Banyak karya lain yang menunggu untuk dikunjungi olehmu, lho," dia berbicara lagi.

Jingga. Seorang perempuan dengan bakat melukis. Perempuan yang mengajariku bagaimana melukis kehidupan menjadi sangat berarti. Tapi, itu dulu. Sebelum bulan Desember berganti bulan Januari. Sebelum ada luka yang terlanjur terbuka.

"Ah, kamu ini mengganggu saja," aku menjawab semauku dan merangkul bahu kanannya dengan  pandangan lekat. Dia membalas rangkulanku dengan telapak tangannya yang menggenggam tanganku. Dia menatapku dan tersenyum. Tidak kuat rasanya melihat senyumnya yang menjuntai indah di wajahnya.

Manis sekali.

"Jangan terlalu asyik, nanti kamu lupa ada seseorang di sini." 

"Mana mungkin aku lupa dengan PELUKIS hebat."

Dia kembali tersenyum. Pandanganku semakin terbius olehnya. Rasanya letupan-letupan ber-frekuensi cepat itu datang tanpa diundang kembali. Setelah berminggu-minggu begitu hambar. Benar sekali, letupan itu kembali bersemayam di jantungku. 

Ah, Jingga.

Tiba-tiba terdengar suara ritmis gitar mengawali sebuah pementasan bernyanyi di gedung ini. Melodi yang terdengar menjadi intro sebuah lagu. Keren sekali. Tap tap tap. Suara mikrofon mulai diketuk-ketuk oleh seorang penyanyi untuk memastikan keamanan saat bernyanyi. Satu demi satu kata mulai terekam dalam pendengaran setiap pengunjung.

Ah, lagu itu...

Parahnya, letupan jantungku semakin hebat. Semoga Jingga tak ikut merasakan ini. Dia malah asyik melambaikan tangan ke kanan dan ke kiri. 

"I go back to December turn around and make it all right. I go back to December all the time." 

Desember. Adalah bulan penutup di setiap tahun. Tepat kala itu, tanggal 11 Desember 2013, ketika senja meneduhi kami. Aku dan Jingga. Tak berbeda antara Jingga dan senja sore, mereka sama-sama menentramkan hati. 

Kami berbincang. Hanya berdua di sebuah pantai dengan pasir putihnya. Aku ingat betul saat itu, ada banyak menara hijau berbuah segar dalam pandanganku, biru laut yang merupakan alam kesukaan kami. Ya, begitulah kira-kira memori-ku merekamnya.

Dipantai. Setahun dua bulan yang lalu. Kami bercengkrama sambil menikmati keteduhan senja. Di antara ribuan pasir tersebar dengan warna sucinya, Jingga menulis sebuah kalimat yang entah untuk apa. Entah. 

"Ketika tidak ada lagi jeda untuk jingga hadir menjinggkan mega, aku hadir dalam ruang yang terbias oleh mendung. Sendiri."

Kalimat yang benar-benar belum kupahami.

"Nyanyi, yuk" Jingga menepuk pundakku, membangunku dari pelamunanku.

Ah, ternyata ini hanya sebuah kaset yang diputar kembali. Memang seperti nyata, kaset itu belum menorehkan goresan, sehingga rekaman di dalamnya dapat memutar semua dengan lancar, apalagi tidak ada kode yang dapat menghentikannya.

Setidaknya rekaman ini dapat menghiburku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pulang

Menamu

Mati Suri