Tapak dalam Senja

Hari ini bersama jingganya senja aku menatap mega. Begitu sendu. Ditemani riuh angin yang berlalu-lalang tak permisi―mengajakku untuk pergi ke suatu tempat yang telah dihuni seorang lelaki yang seperti kukenal sosoknya. Entah siapa. Aku tidak tertarik apalagi menggubrisnya. Merobek kertas lalu meniupnya adalah hal yang menarik bagiku. Itulah sebabnya, aku tidak suka suasana ramai. Di sini hening dan aku suka itu.

Jenuh mulai menyapaku ketika sorot sinarnya sudah mulai mengelabu. Tentu saja, matahari telah menenggelamkan setengah tubuhnya kepada peraduannya. Yang tersisa, hanya aku bersama setumpuk kertas dalam binder serta ballpoin dan secarik foto ibu ― juga sesosok manusia itu. Ibu. Ya, tokoh sederhana yang nyaris sempurna. Begitulah aku menyebutnya. Wanita paruh baya dengan kebaya yang melenggang ditubuhnya. Sangat cantik. Ya, berunjuk gigi adalah gaya andalannya dalam berfoto. Tergores senyum yang begitu anggun dalam pigura cokelat berukir bunga nan indah bersama kenangan yang amat lekat.
Bola mataku menangkap goresan senja yang menjingga, amat indah apabila memperhatikan karya Tuhan Yang Maha Agung. Di tepi pantai, burung-burung camar sesekali mendarat dihadapanku. Mereka mengingatkanku pada Ibu―dua bulan yang lalu. Ibu selalu mengajakku untuk melihat indahnya panorama senja. Memperkenalkanku pada segerombol burung camar dan menyaksikan karang-karang yang dihantam keras oleh ombak. Namun, Tuhan sayang lebih pada Ibu. Tuhan tidak tega melihat Ibu terus-menerus kesulitan dalam bernapas. Sampai akhirnya, Tuhan menempatkan Ibu di surga sana. Tempat pertemuan kita kelak, Bu. Aku sayang Ibu.
"Hai, kamu tidak ingin beranjak dari sini? Sudah malam untuk perempuan seperti kamu yang sendirian tanpa berbicara sedikitpun," tanya lelaki itu dengan maksud membuka percakapan denganku sekaligus memberitahukanku bahwa saat ini sudah pukul 18.20 WIB. Suaranya sangat tidak asing ketika sampai di gendang telingaku. Wajahnya tak sempat kulirik, karena sangat tidak penting untuk orang yang tidak mengetahui tentang diriku. Sementara, air mataku mulai mengering, sebab aku tidak ingin siapapun tahu tentang kesedihanku. "Kamu terlalu sibuk merobek lalu menghempaskan kertas itu. Sampai kamu lupa sudah berapa banyak kertas yang kamu hambur-hamburkan. Apalagi robekan kecil yang tak kamu pedulikan dan kamu biarkan begitu saja," lelaki itu terus membuka percakapan denganku dan ternyata dia juga memperhatikanku. Aku tidak berminat apalagi sosoknya belum kuketahui. Aku kaku? Tidak. Aku hanya ingin tetap dalam titik fokusku. Merangkai kata, menyusun lalu membuangnya dengan pena di atas secarik kertas polos, itulah titik fokusku. Tak lupa secarik foto ibu dan senja adalah sumber inspirasiku.
"Kamu pasti sedang menunggu titik yang selalu memunculkan cakram warnanya, bukan? Aku yakin, kamu sedang menunggunya," seketika sel saraf otakku merespon kalimat itu. Mencerna. Namun sayang, ingatanku melemah. Aku tidak ingat siapa yang sedari tadi berusaha membuka percakapan denganku. Ah, dasar pikun!

"Tahu apa kamu tentang titik?" tanyaku saat dia mulai berbicara titik. Ya, dia benar, titik itu adalah bintang yang penuh warna-warni. "Aku rasa, aku tidak perlu menjawabnya. Karena, kamu yang lebih paham tentang titik itu," dia hanya menjawab semenanya. Aku belum paham apa maksud dia menjawab seperti itu. Apa yang dia tahu tentang aku?
Pukul 18:35 WIB. Tubuhku masih tetap dalam posisiku. "Titik. Tanpa titik, kamu tidak akan bisa membuat garis dan tanpa titik di langit (bintang) kamu tidak akan mengetahui bahwa sesungguhnya hal yang terlihat kecil adalah hal yang begitu besar," jelas lelaki itu. Dug. Jantungku seperti dipompa dengan cepat. Aliran darahku mengalir deras. Ingatanku memuncak. Aku ingat!
"Bagaaaas!!!" ingatanku kembali pada nama itu. Aku terkejut. Dia menghampiriku dengan nuansa fashion-nya. Berkacamata, memakai kaos cokelat dengan sepatu cokelat. Ya, dia Bagas. Sahabat kecilku yang sudah aku anggap seperti kakak. Kami sudah berpisah tiga bulan lamanya. Bagas tak memberi kabar tentang kepergiannya. Aku rindu dia. Sangat rindu. "Kamu masih ingat ternyata," dia tersenyum sangat manis. 

"Tentu saja, siapa yang tidak ingat denganmu? Sini beritahu aku, dia pasti pembohong! Aku kira, kamu tidak akan kembali. Ini surprise banget. Aaaaaa!!!" aku memeluknya penuh erat. Semua buyar. Titik fokusku sudah tidak tertuju pada binder lagi. Semua tertuju pada Bagas. Kami saling bertukar kabar juga cerita dan tak lupa melepas rindu bersama. Ada perbedaan yang menonjol darinya. Tubuhnya yang dulu berisi, mulai kurus. Namun, tetap saja, aku masih tertegun anggun melihat penampilannya. Dia sangat berkharisma, ditambah tangkai hitam berlensa yang sedari tadi menangkap pandanganku. 

"Kamu beda, ya. Sekarang ganteng tapi, terlihat kurusan. Apa porsi makanmu sudah mulai berkurang?" ledekku sedikit tergelak.
"Tadi diam saja, sekarang sudah mulai bawel, ya. Aku bisa kalah kalau debat denganmu, nih. Ya sudah, kita pulang sekarang, ya. Sudah malam, biar aku antar kamu," "Siap bos!" sahutku seperti anak buah kepada atasannya ― hormat.

Aku mengekornya. Pantai mulai kami tinggalkan.

Namaku Nadira Abelia Annisa. Sebut saja Abel. Aku adalah perempuan istimewa sebab, aku dilahirkan melalui rahim ibu yang istimewa pula. Aku bukan orang supel yang punya banyak teman akrab. Hanya Lifia dan Bagas yang kuanggap sebagai teman sekaligus sahabat. FajarNya tiba di ufuk timur dan mulai menyongsongkan hangat sinarnya. Dibentangkan olehNya segunduk awan putih berlatarbelakang mentari merah. Inilah pagi. Hari ini adalah hari ke-5 dibulan pertama semester tiga. Seperti biasanya, aku awali pagi dengan mengambil air wudhu dan segera menghadap Sang Pencipta. Tak lupa seusai shalat aku sempatkan untuk mendoakan Ibu. Aku siap untuk hari ini. Hari yang penuh dengan tugas dan ulangan.
Aku menuju sekolah dengan berpakaian putih dan rok hitam. Kutapaki setiap aspalan lurus di antara hijaunya jalan dan membiarkan setiap oksigen masuk ke dalam tubuhku. Sungguh kurasakan aroma biru di pagi ini. Tak sampai lima menit, aku tiba di depan rumah Bagas. Ini bukan tujuanku. Rumahnya sepi, lampu rumahnya juga menyala, padahal ini sudah pagi. Hanya ada dedaunan cokelat kering yang gugur dari pohonnya. Aku hanya memantaunya sekilas dan kembali melanjutkan perjalanan menuju sekolah. Aku tiba di gerbang sekolah yang sudah dijaga ketat oleh satpam tepat saat bel dibunyikan.

Beruntung.

Keesokan harinya, aku bersekolah dan mengambil rute yang sama dengan hari sebelumnya ― melewati rumah Bagas. Tetap saja, kediamannya masih sepi, begitupun lampu rumahnya yang masih menyala. Latar rumahnya hanya berpenghuni sampah-sampah organik yang menyarang. Kemana Bagas? Sudah dua hari batang hidungnya tidak tampak. Apa dia tidak tahu? Ada seseorang yang menunggunya bermain dan bersenda gurau seperti dulu. Aku rindu itu, Bagas.
Pukul 06:25 WIB sampailah aku di gerbang sekolah. Nyaris telat (lagi). Hanya tersisa lima menit lagi bel akan dibunyikan. Aku menuju kelas. Terpantau Lifia ―  sahabat sekaligus tablemate-ku ― yang sedang asyik membaca novel. Aku berlari tergopoh-gopoh dan tidak peduli dengan rambutku yang awur-awuran. Aku dan murid lainnya siap belajar.

Seorang guru keluar dari kelas, di mana keadaan mejanya sudah rapih dan sudah tidak ditumpuki buku-buku pelajaran. Ini pertanda bahwa jam pelajaran terakhir telah usai. Aku sibuk berbenah. Kuabsen setiap buku tulis dan buku mata pelajaran, supaya tidak ada yang tertinggal, tapi bel belum juga berbunyi.

"Lif, kamu tau Bagas kemana? Waktu dua hari yang lalu dia datang ke pantai. Tapi, dua hari ini, rumahnya sepi seperti tidak ada dia dirumahnya. Biasanya dia selalu menjemputku pulang sekolah dan tidak ada kabar dari dia juga, Lif. Kamu tau?" jelasku bernada ketir.

Aku tidak bisa sembunyikan kekhawatiranku. Wajahku mendadak direbus. Memerah dan berkeringat. Tapi, Lifia masih bungkam. Belum Lifia jawab pertanyaanku, bel sudah dibunyikan. Lifia menghela napas panjang. Entah apa maksudnya. Ini menyebalkan! Lifia lari terburu-buru tanpa basa-basi apalagi salam. "Lifia, tunggu!" panggilku. Tapi, tetap saja dia tidak mendengar atau berpura-pura tidak mendengar. Entahlah. Yang jelas, aku benci hal seperti ini. Seperti ada yang disembunyikan. Hatiku mulai menggerutu, sampai muncul sedikit rasa curiga pada Lifia.

Terdengar aliran musik ber-genre jazz yang samar mencapai gendang telingaku. Tak kugubris sebab kantukku. Ditambah udara dinginnya pagi yang sesekali masuk melalui fentilasi udara kamarku dan sampai mengendap di permukaan kulitku yang beri semangat untuk melawan rasa malasku. Apalagi ini adalah hari sabtu. Hari yang memalaskan, belum lagi kerja tambahan. Mataku masih rabun melihat sekeliling tapi, tidak pada sepucuk amplop berwarna pink yang tersender di samping lampu tidurku. Terbelalaklah mataku. Energiku seperti sudah berkumpul, penuh asa dan semangat. Apalagi, surat itu bertuliskan From : Bagas. Dug. Jantungku dibuat berdegup hebat lagi seperti saat di pantai ― tiga hari yang lalu.

Selamat ulang tahun, Abel. Jadilah yang terbaik untuk orang yang menyayangimu dan orang yang kamu sayang. Tetap jadi Abel yang selalu memberikan titik-titik indah, ya. Aku tunggu kamu di pantai pukul 15:00 WIB.
Sahabatmu,
Bagas

Lagi dan lagi Bagas selalu membuatku terkejut. Langsung kupantau tanggal dikalender. Benar, hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-16. Tanggal 13 September 2014 adalah tanggal yang sudah kulingkari dengan spidol bertinta pink, sebagai tanda bahwa itu adalah tanggal spesial untukku. Bagas mengingatnya. Lalu, bagaimana bisa surat ini sampai? Entahlah, yang jelas ini adalah sebuah kado untukku. Terima kasih, Bagas.

Suara-suara letakkan piring dan engsel pintu mendarat ditelingaku. Aku masih belum mau memantaunya. Sampai akhirnya terdengar suara sendok jatuh. Tak seperti biasanya, jika Ayah pulang tanpa memberi kabar kepadaku dahulu. Aku memberanikan diri. Shock!

"Selamat ulang tahun, Abeeel!!" ucap Papah, Bagas dan Lifia bersamaan. Aku terkejut dan masih mematung.

"Selamat ulang tahun, ya, Nak. Jadi kebanggaan Papah. Papah sayang Abel."

"Selamat ulang tahun, Abel. Tetap jadi Abel yang bawel dan setia jadi sahabat gue, ya," Lifia tersenyum penuh harap.

"Selamat ulang tahun, Bel. Jadi yang terbaik untuk orang yang menyayangimu dan orang yang kamu syanag, ya. Jangan lupa, jam tiga sore, kita ke toko buku," kata Bagas, sahabat kecilku yang penuh kejutan.

Mereka benar-benar membuat air mataku tak sanggup menampung bulir-bulir yang membendung di tulang air mataku. Ini tangis kebahagiaan. Guyuran doa menyeruak ditelingaku. Bukan hanya itu, sebongkah kue tart berperisa lemon juga Papah bawakan. Digenggamannya Bagas juga ada sebuah kotak besar berlatarbelakang Spongebob --- kartun favorite-ku. Sementara, juga ada terompet kecil yang terapit dibibir Lifia.

"Papah, Lifia dan Bagas, kalian ingat? Terima kasih banyak, ya. Aku sayang kalian!" Papah mengecup keningku. Rasanya, aku ingin sebentar saja menghentikan atau memperlambat laju arlogi. Jika aku bisa.

"Sama-sama, Nak," Papah mengangguk dan menyimpulkan senyum wibawanya.

"Siapa yang tidak ingat? Sini beritahu aku, dia pasti pembohong," kata Bagas yang meledekku dengan kalimat persis yang aku ucapkan di pantai beberapa hari yang lalu. "Apasih kamu, kemarinnya ada, lalu tidak ada. Eh sekarang ada. Betein, ya," ledekku balik dengan senyuman. Bagas bungkam. Dia hanya memainkan alisnya dan melemparkan senyum yang sangat kecil. Sementara, Papah dan Lifia hanya memperhatikan tingkah kami. Mereka sesekali tertawa dan menggelengkan kepala.

Pukul 14:35 WIB. Bola mataku tidak bisa berhenti memperhatikan arlogi yang menggantung di dinding kamarku. Kucoba setiap pakaian yang pantas di dalam lemariku. Aku pilih kaos oblong bermotif volkadot serta rompinya dengan bawahan celana tigaperempat. Tak lupa kusisiri rambut-rambut kusut yang mengurangi penampilanku. Aku sudah tidak sabar ketika jam sudah menunjukkan pukul 15:00 WIB. Padahal saat ini, jam masih butuh duapuluhlima menit untuk henap pukul 15:00 WIB. Bagas akan mengajakku ke toko buku dan meneduh dibawah jingganya senja usai ke toko buku. Aku sudah tidak sabar!

Dreeeet...Dreeeet…Dreeeet…
Alarmku berbunyi tepat pukul 15:00 WIB. Entah sebab apa, aku merasakan ada dentuman hebat yang tak biasa. Tanpa pikir panjang, langsung kususuri jalan. Aku tidak ingin Bagas menunggu lama di pantai.

Pukul 17:30 WIB. Goresan senja beserta gradasi warnanya mulai muncul. Sementara, Bagas belum juga muncul. Hanya ada burung-burung camar yang menemaniku di sini. "Kemana Bagas? Apa dia lupa dengan janjinya?" ucapku dalam hati. Kubulatkan tekad untuk tetap setia menunggu Bagas. Tapi, panah waktu terus berputar. Tak bisa dielakkan. Sampai pada pukul enam tepat, Bagas tak kunjung datang. Perasaanku memuncak. Jika aku air, mungkin aku sudah sampai pada titik didihnya. Panas. Menguap. Tanpa bekas. Seperti itulah kesabaranku. Aku tidak suka dengan orang pembual dan tidak tepat janji. Sekalipun itu orang terdekatku. Kini, semburat senja sudah hampir tenggelam. Aku ditinggalkannya di suasana temaram. Ini menyebalkan!

Aku meninggalkan bibir pantai dan membiarkan kedatangan yang tak pasti dari Bagas. Dengan semangat aku harus melawan keinginanku untuk menghabiskan waktu bersama Bagas. Padahal senja di hari ini sangat indah. Jejakku membekas di putihnya pasir pantai. Mulai kupertegas langkahku. Kupercepat. Langkahku semakin jauh. Tak ada lelaki itu, lelaki yang menyumbangkan warna cakram hidupnya untukku. Ya, Bagas.

"Abeeel...Tunggu!" suara Lifia hadir memanggilku.

Dari kejauhan suaranya lantang dan terengah-engah. Dia mengejarku dan sekarang tepat dihadapanku. Tangannya yang lembut menarik tanganku. Wajahnya penuh lesu dan cemas.

"Maaf, sebelumnya aku baru sampai di sini, Bel. Tadi Bagas meneleponku dan mengajakku untuk bertemu dengannya. Aku sudah tau semuanya kalau kalian ingin pergi ke toko buku dan menikmati senja indah di hari ini. Tapi....," kata Lifia yang menghela napas sejenak. Aku tidak ingin memotong pembicaraannya. Hatiku mulai cemas. Lifia menatapku. Suaranya melirih dan matanya sedikit melembab. "Tapi, Bagas sakit, Bel. Kamu tau tujuan Bagas kembali untuk apa? Dia bilang, dia hanya punya waktu sebentar. Dia harus berjuang melawan penyakitnya dan selama dua hari dia menghilang, dia sedang menetap di rumah Neneknya karena, jarak rumah Neneknya tidak jauh dengan rumah sakit. Sampai hari ulang tahunmu tiba,  Bagas menyempatkan waktu kecilnya dan dia bisa memberikan janji di jam tiga tadi. Tapi, Tuhan berkehendak lain, penyakit Bagas kambuh kembali. Ini pesan dari Bagas karena dia tidak ingin melihatmu menangis, dia lebih suka melihatmu marah. Tolong maafin dia dan doakan supaya Bagas bisa kumpul bersama kita. Maaf, Bel. Aku tau kamu akan marah besar, maaf, Bel," jelas Lifia panjang lebar.

Lifia benar-benar yelah menyerap habis oksigenku dengan perkataannya. Sesak. Terlalu perih. Lifia hanya menundukkan kepala ketika melihat bulir-bulir air jatuh manis. Semua benar-benar tumpah. Lifia juga menangis meskipun dia berusaha untuk tetap tidak menagis. Aku kesal. Sedih dan khawatir kepada Bagas. Kulepaskan genggaman Lifia yang semula erat menggenggam tanganku dan kutinggalkan dia. Jejakku semakin kupertegas. Lifia semakin menjauh, suaranya lindap memanggilku. Tak kugubris. Aku menuju rumah dan menenangkan diri. Lifia sendirian di pantai itu.
 
Jam sekolahku telah habis dipukul 16:00 WIB. Aku tidak langsung menuju rumah. Tujuanku adalah pantai.  Aku menuju pantai dengan kendaraan roda duaku. Tak sampai sepuluh menit aku membelah jalan, pantai sudah terlihat. Aku sendirian dan tak ditemani siapapun. Aku tiba di pantai. Kali ini, aku benar-benar menghela napas panjang, membuang sisa karbon dioksida ditubuhku, terlebih untuk menenangkan pikiranku. Aku menghayati setiap karya Tuhan. Begitu indah. Penuh warna-warni. Mulai dari hijaunya pohon yang menjulang tinggi, birunya air di pantai, putihnya pasir dan sorot kuning yang beri kehangatan di sini. Kali ini aku benar-benar bagai filsuf.

"Abeeel...," Lifia memanggilku.

Suaranya terdengar dari kejauhan. Aku menengoknya. Dia menghampiriku dan sekarang ada tepat disebelahku. Aku hanya tersenyum kecil. "Bel, maafin aku, kalau aku baru beritahu tentang Bagas ke kamu. Aku tidak bermaksud menyembunyikan itu, Bagas bilang, dia tidak mau menambah beban perasaanmu. Bagas sudah tau kalau Ibumu sudah meninggal. Jadi, dia tidak mau menambah kesedihanmu saat ini. Maaf, Bel," pinta Lifia tersenyum polos.

Dia benar-benar menyekat semua ruang oksigenku kemarin dan membuatku sangat kesal. Tapi, tak sampai hati. Bagaimanapun juga, Lifia adalah sahabat terbaikku. Aku memaafkannya karena, ini bukan hal yang harus dipertahankan dalam permasalahan di sebuah persahabatan.

"Aku tidak marah. Aku hanya kesal, Lif. Mungkin maksud Bagas dan kamu benar, tapi tolong jangan lagi kalian ataupun kamu menyembunyikan hal sekecil apapun yang sangat menyakitkan. Maafin aku juga, Lif sempat bersikap egois kemarin. Dan tolong, segera temui aku kalau ada kabar dari Bagas. Ingat, meskipun itu menyakitkan beritahu aku segera," aku tersenyum lega. Kami saling berhadapan. Senyum kami saling membengkak.

"Janji?" tanyaku kembali.
 
Rasa kesalku mulai meredam saat senja datang meneduhi kami. Dan kali ini, aku dan Lifia adalah sebuah siluet yang terekam dari atas mega berlatarbelakang senja. Terima kasih, Tuhan, telah menghadirkan senja. Lewat senja, aku memiliki kenangan lekat bersama Ibu. Lewat senja, aku mengenal banyak panorama yang Engkau ukir di bumi ini. Lewat senja, aku mengenal banyak burung camar yang senantiasa menamaniku. Lewat senja pula, aku melepas rindu dan merindu dengan sahabatku. Aku ingin terus bisa menyaksikan senja bersama mereka yang aku sayangi, sampai aku menutup mata.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pulang

Menamu

Mati Suri