Sepakat

Kita telah berkali-kali membicarakan tentang perasaan ini. Perasaan yang tidak ingin pernah kita tuntaskan. Tapi semuanya menyerah ketika perselisihan dan pertengkaran datang terus-menerus menjemput kebahagiaan. Ketakutan mulai merayapi hati yang rapuh, bahkan tidak peduli lagi apabila benar-benar patah dan terjatuh. Bagian yang paling menyakitkan memang bukan perkara perpisahan yang akan terjadi, karena itu adalah resiko dari segala pertemuan—dan kita menyepakatinya. Tetapi, bagaimana menyikapi segala hal yang terpaksa berkesudahan. Bukankah di antara kita sepakat untuk menolak terpaksa?

Nanti, jika segala resah menguliti kerinduan kita, ada baiknya kamu tak perlu membumbuinya. Biarkan saja seperti itu, barangkali itulah rasa sesungguhnya yang hinggap di antara kita, rasa yang kita cicipi dan memaksa untuk memahami maksud semesta. Bukankah di antara kita lebih suka segala yang hambar? Seperti ini, bahkan kita tak pernah bisa menikmati rasa apa dalam hubungan ini. Karena, lagi, kita sepakat untuk tidak mengizinkan ikatan merajai kita.

Jika kelak, aku masih mencintaimu dengan hambar, tanpa tahu rasa, kamu hanya perlu memperhatikannya dari sana. Bukankah kita sudah sepakat untuk menetap pada hati masing-masing, sebelum kita harus memantapkan langkah untuk bertukar dan menjamah hati satu sama lain. Bukankah kita juga sudah sepakat bahwa rasa yang ada pada kita tidak perlu diabadikan melalui ucapan, karena mata kita terlalu kuat terikat dan mampu mengalahkan rahasia semesta. Dan, bukankah kita sudah sepakat untuk tidak melukai belahan hati manapun, meskipun harus ada yang dikorbankan dan merasa mati di kesunyian?

Jika pada akhirnya kita tak saling berlabuh, kamu tak perlu bersedih dan merasa tersakiti. Sebab doa panjang yang saling kita lantunkan telah dijawab oleh semesta tanpa kita adalah jawabannya. Ternyata kita hanya menjadi seperbagian di antara waktu yang kita miliki. Sepakatilah, sepakat yang pernah kita sepakati, bahwa rasa dan kenangan yang pernah singgah bukan perkara berat. Bagiku jarak bukan sekat, ia justru membebat rindu agar mengakar kuat—kita masih (bisa) dekat.

Satu hal, jika rindumu masih hebat melukai perasaanku, biarlah ia pulang dalam doamu. Tanpa kamu paksa, pintuku masih terbuka. Bukankah di antara kita sepakat untuk menolak terpaksa?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pulang

Mati Suri

Kopi Hangat