Setelah Ada

Dari sudut ruangan, ditemani segelas teh hangat dengan aromanya yang memutarbalikkan kenangan terdahulu, aku ucapkan selamat pagi.

"Selamat pagi."

Fajar kali ini tidak begitu indah. Hangat Si Kuning Telur yang membulat tidak meyebar rindu yang merata di Bumi. Setengah hangatnya sedang digantikan oleh Si Pengeroyok Tanah di Bumi. Hujan. Tapi, tetap saja, pagi ini begitu sendu. Apalagi, aroma tanah yang tak permisi meyerobot penciumanku. Bulir air hujan turun melewati jendela dan uapnya menembus kaca yang menambah kesejukan. Hujan begitu deras sampai embunnya menutupi arah luar jendela. Sudah kubilang, hari ini sangat sejuk. Tidak perlu kupertegas. Harusnya kamu mengetahui itu. Kita sama-sama berada di posisi yang jaraknya tidak sampai berpuluh-puluh kilo meter, bukan? 

Bola mataku menangkap sebuah siluet terdahulu dalam pigura cokelat indah berlatarbelakang senja dengan guratan semburat merahnya. Ya, indah, tapi, terdahulu. Seharusnya kita sedang menikmati fajar, menatap mega, merajut asa dan bara semangat yang akan padam saat senja menyerobot dan berganti malam. Seperti dulu.

Kamu tahu? Sudah tidak ada lagi siluet di ujung jalan yang berdiri tanpa lelah menunggu kehadiranku. Tidak ada lagi sosok itu. Sosok yang tak pernah mengharapkan kembalian. Aku kikuk disini. Tertutup oleh embun. Termangu hanya menunggu embun itu segera mengenyahkan dirinya dan menuntunku dengan uap airnya yang mengalir, membawa menuju ke hilir kenyataan. Dan tentunya tidak seorang diri.

Tertegun adalah ketika harus memutuskan kembali atau melangkah tanpa pasti. Sangat maya ketika mimpi itu masih menggantung di atap jendela. Ya, aku tuna akan segala. Belum jelas juga? Tuna akan segala. Tuna rasa. Tuna arah. Mungkin juga tuna jalan pulang.

Sebelum kubercerita, aku yakin kau sudah tahu. Aku ingat betul dialog antara kita. Kau bilang, kita tidak pantas meremehkan apapun, sekalipun itu sekecil debu. 

"Kau tahu kenapa?" 

Sebab suatu hari nanti, kamulah yang akan terserang sarang debu itu. 

"Kau mau?" 

Aku meng-iya-kan dan mengangguk pelan. Bukan karena ingin terserang debu, tapi iya karena percaya akan benar.

Tentu tidak akan tak kuingat. 

"Sekalipun itu sekecil debu, suatu saat dia akan berkembang, tumbuh menyarang dan menjadi sarang yang bisa buat siapapun terserang dan sesak."

Seperti itu.

Hujan turun semakin deras, menjatuhkan dirinya bersama pekatnya keharuman teh hangat. Pikiranku semakin memuncak ketika hujan seperti ini, menusuk tajam ke celah-celah memori yang sempat tumpul. Otak memang tidak bisa diajak kompromi. Seketika lupa, lalu ingat dalam sekejap. Ah, lalu bagaimana aku bisa lebih berhati-hati untuk tidak jatuh ke dalam lubang yang sama? Uhmm..

Aku menulis. Menulis setiap kenyataan dalam diary. Bercerita hanya sendiri. 

Jemari tangan ini menggenggam sebuah pigura, yang sempat kau sematkan sebuah pita merah putih. Katamu, pita itu adalah lambang antara kita. Kamu merah dan aku sebagai putihnya. Ya, merah seperti maknanya. Penuh bara semangat yang tidak pernah lelah menawarkan pundak untukku. Perempuan energik, kompetitif, dan pemberani. Sedangkan putih adalah lambang untuk seseorang yang selalu berpundak pada merah. Putih, pucat, tidak menarik dan hanya dapat bercerita lewat kata. Ya, kira-kira begitulah pemahamanku. 

Sudah ribuan kalimat aku tulis dalam diary, supaya ketika kulupa, aku ingat. Supaya ketika aku terlalu jalan sangat jauh, aku tidak usah payah kembali, karena ada indah di setiap jalan yang baru kutemui. Supaya setiap detiknya berarti. Supaya aku tidak usah kelelahan bercerita kepada seseorang yang hanya ingin mendengarkan, tanpa mengerti.

Dan aku masih sibuk menulis, bercerita hanya sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pulang

Mati Suri

Kopi Hangat