Undangan dalam Secangkir Kopi

Aku tidak peduli pada malam itu. Tidak peduli harus ke mana.

Aku tinggalkan semua keramaian. Aku cukup lelah mengikuti alur kehidupan yang terus mengalir biasa saja. Ini membosankan. Bahkan tidak ada yang lebih hidup daripada sekadar raga ini. Ide-ide tumbang di ujung pikiran. Motivasi pergi menyita segala jiwa. Aku enggan lagi seperti ini.

Lelah. Malam ini aku rindu merapatkan tubuh kepada sepiku. Memilih menidurkannya pada kesendirian. Bertahan pada kesenyapan tanpa sayap-sayap dan cuap-cuap. Aku ingin jauh dari riuh. Malam ini saja akan kutimang semua gundah dalam dada.

“Semoga kautak kesepian,” hatiku bergumam demikian.

Aku melangkah dengan gontai meninggalkan perapian pusat pikiranku. Berjalan dengan memutar haluan, entah ke mana. Diri ini sadar telah hilang kendali oleh diri sendiri. Demikian, aku tidak pernah ingin berhenti berjalan. Bagaimanapun, kelak di manapun, akan kutemukan sebuah titik balik pada diri ini. Aku tidak akan berhenti, bahkan jika perapian itu membakar habis seluruh isi kepalaku. Tak masalah. Bagaimanapun, aku masih dapat mengandalkan hati ini, yang katanya lebih halus membujukku untuk kembali pulang ke rumahku.

“Aku tidak akan ke mana-mana, kautidak akan kehilangan diriku,” kataku yang menolak kata hati untuk bertahan. “Tenanglah, aku akan kembali,” aku bermonolog untuk meyakinkan diri sekali lagi. Aku akan kembali.

Hujan kali ini lebih deras dari biasanya, tapi tidak juga berhasil memadamkan kegundahan di dalam. Tersesat seperti di hutan belantara. Raga dan jiwa ini benar-benar sedang lumpuh. Bahkan untuk melihat arah tidak mampu. Untuk sekadar berdiri pun terlalu lunglai. Sampai suatu ketika diri ini jatuh. Segala isi kepala sudah habis terbakar. Tumbang tak bersisa. Hangus menjadi abu. Pandanganku hilang, perlahan menjadi hitam legam.

Aku berdiri di samping seseorang yang jatuh dengan posisi sembarang. Melihatnya pun sangat nahas. Pucat. Berantakan. Tak berdaya. Kabar baiknya, dada bidangnya menunjukkan bahwa dirinya masih hidup. Berkali-kali aku mencoba untuk memboyong tubuhnya, sekadar memboyong menuju tempat yang bisa menyelamatkan nyawanya, aku tidak sanggup. Dirinya terlalu berat untuk kubawa seorang diri. Tidak ada cara lain, aku meninggalkannya tak sampai hati dan akan mencari pertolongan.

Tak lama kemudian, beberapa orang mengangkat tubuhnya tanpa beban. Pikirku, mereka mengangkatnya bersama-sama. Wajar saja. mereka lantas membawanya menuju salah satu mobil milik mereka. Aku mengekor di belakangnya. Tanpa berkata-kata, sedih sekali orang ini. Seperti orang tuna arah. Aku bisa menilainya demikian, karena terpancar dari kepribadiannya. Meskipun pada akhinya hanya seperti teka-teki yang kehilangan jawaban.

“Tenang Bun, Mas Iyo ndak akan ke mana-mana. Mas Iyo pasti pulih dan kumpul bersama kita kembali,” ucap seorang gadis berkacamata.

Aku mengenal suaranya. Bahkan aku mengenal siapa dirinya. Ia adalah Rindu. Rindu, aku rindu. Perih rasanya menyaksikan semua ini, ketika dengan sisa tenaga aku berusaha meninggalkan tempat ini. Berusaha untuk tidak dulu menghiraukannya.

Aku berjalan menuju keluar rumah sakit. Di sepanjang koridor, terasa sekali kasur pesakitan di sini. Suasananya sangat menyakitkan, melihat orang-orang yang duduk menunggu keputusan dokter tentang kondisi diri ini. Wajah mereka menciut satu-satu dan ditutupi oleh kedua telapak tangan mereka masing-masing. Entah malu menangis di depan umum, atau sekaligus berdoa. Semuanya berhasil mencabik hati dan pikiran―untuk sejenak merapatkan tubuh kepada sepiku―ini.

Tiba diriku di sebuah taman kecil pelataran rumah sakit. Aku menghirup udara segar beraroma bunga matahari yang merekah indah. Kutengadahkan kepalaku menatap langit, meminta restu kepada-Nya akan apa yang akan kulakukan setelah ini. Di saku celana kiriku, kudapati sebuah puisi rindu.

Hanya tiga menit.

Malam ini izinkan aku menitipkan segala rinduku di matamu. Aku tak punya pilihan ke mana langkah selanjutnya, selain menjadi tamu di beranda matamu; sungguh, sejenak saja sebelum singgahku benar-benar jauh. Jika kautahu, aku sungguh ingin menetap di matamu. Di sana akan banyak kutemukan keteduhan, aku tak perlu khawatir mengenai rindu yang kutitipkan, sebab ia sudah tak kedinginan di tepi jalan. Riuhku runtuh dan lelahku akan padam menyeluruh. Atau kauboleh merebahkannya di dadamu yang awah, tak apa, asal ia bersamamu.

Untuk tiga puluh detik terakhir: kelak, suatu hari nanti; di matamu aku ingin kembali tinggal. Bersamamu, menjadi puan dalam matamu. Bukan untuk menjemput rindu-rinduku, tapi memagut rindu bersamamu.

Sungguh.

Aku masih dapat membendung banjir pada kelopak mata, meskipun aku tahu, itu tidak akan bertahan lama. Ini bukan tentang seseorang yang meninggalkan, tetapi mengenai seseorang yang sedang tuna arah. Seseorang yang tidak tahu ke mana akan melangkah. Seseorang yang tidak tahu arah jalan pulang. Bahkan seseorang yang tidak tahu atas apa yang ada pada dirinya. Atau yang lebih pahitnya, tidak tahu siapa dirinya.

Keheningan mengantarkanku menuju antah berantah. Langkah ini teratur membawa tubuhku yang serta merta layak disebut kesepian.

Di persimpangan yang penuh kerinduan, mataku disegarkan oleh lalu lalang orang yang dengan mantap menatap jalan. Tidak seperti diri ini, kehilangan pusat dan fokus arah. Pandanganku ke depan terhalang oleh bangunan megah yang berdiri gagah, aku tak sampai jelas melihat bangunan itu karena terhalang oleh sinar matahari. Tingginya sangat menjulang. Aku menoleh pada sebuah pohon rindang yang kokoh, batangnya besar meneduhi siapapun yang berada di bawahnya. Lampu-lampu kendaraan mempertegas romantisme malam ini. Sementara aku enggan membelah jalan, masih terkesiap dengan apa yang ada di depanku.

Aku membela diri untuk tetap berdiri dengan lantang di tengah keramaian. Tubuh dan langkah diam ini telah meyakinkanku demikian. Sampai suatu ketika, dihadapan banyak rambu lalu lintas, aku kikuk menentukan arah. Mereka membujukku untuk terus mengikuti apa yang telah mereka tunjukan. Bagaimana bisa? Jiwaku berbisik lemah.

Di pinggir trotoar, aku kembali pada keheningan. Menentukan arah mana yang kuambil. Di sini banyak pilihan. Belok kanan, belok kiri, lurus, atau berhenti.

“Tidak akan ada pilihan untuk mundur, kawan.”

Aku terkesiap mendengar kalimat itu.

Memangnya aku ini pengecut?

Satu detik berlalu.

Sepuluh detik berlalu.

Sampai ratusan detik kemudian, aku kalah oleh waktu. Masih saja merasa kosong di tengah keramaian. Biar kutebak, semuanya pasti juga pernah merasa demikian.

Aku ingin pulang, sendiri saja seperti angin yang enggan berhenti. Sebab berjalan pada keramaian tanpa jamahan kasih, kautahu itu menyakitkan, Sayang. Maka, biarlah segenap malam menguliti rindumu dengan kaku. Agar kamu tahu, sepotong hati tidak akan pernah mampu menjadi satu begitu saja tanpa peduli. Dan aku telah ringkih, terlalu perih.

Sampai suatu ketika seluruh orang berlalu lalang dengan cepat. Mobil melaju sangat cepat. Langit tidak sabar mengarak awan putih menjadi abu. Bulan hilang meninggalkanku. Semua berjalan semakin cepat. Semakin cepat dan cepat. Tapi, tidak denganku. Diam di suatu tempat tanpa sebuah keputusan. Dikuliti oleh sepi. Tidak peduli dengan keputusan dan tetap tuna arah. Menurutku, untuk tetap berdiri di sini sudah menjadi suatu keputusan. Tubuh ini ikut larut di keramaian semu.

Malam ini hampir sempurna, tidak dengan kamu, tapi dengan seutuh sepiku. Aku menyukai kesendirian, pada kesendirian aku bisa memeluk diri sendiri. Aku lebih padam dari rindu yang selalu melukai. Tidak lagi kacau, aku selalu pulang dan rebah di dada sendiri. Tak apa, sebab aku tidak akan pernah lupa jalan pulang; kautak perlu risau: dalam dadaku―palung―aku melihatmu menungguku untuk mengetuk pintu. Aku akan kembali.

Dan, aku terbenam pada malam itu.

...

Aku telah kembali. Pada hari yang entah kusebut apa. Aku tidak perlu merayakannya, sebab untuk mengingat ini saja sudah menjadi perayaan untukku. Aku tidak menyukai sebuah perayaan. Tidak juga membenci perayaan. Bagiku, itu hanya hal sederhana yang dilakukan oleh orang-orang yang sederhana pula.

Tidak penting bagiku sebuah perayaan. Hal yang penting―dan kusukai―adalah terus berjalan. Perayaan bagiku sama saja membuang waktu. Untuk apa merayakan hal yang telah atau akan berlalu. Bagiku, masa depanku jauh lebih pantas untuk dirayakan, dibandingkan dengan masa lalu. Perayaanku memang berbeda, tapi maknanya―bagiku―berkelas.

Aku ingin secangkir kopi malam ini, tidak terlalu pekat dan pahit. Jika kau bersedia, datanglah. Dengan begitu aku tidak perlu tambahan gula, sebab kaudatang sebagai pemecah sendu dan penawar pahitnya rindu.

Kutunggu pukul tujuh nanti.

Ini adalah undangan dalam secangkir kopi—sebagai tanda bahwa kamu adalah perayaan dari masa depan yang patut diperjuangkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pulang

Menamu

Mati Suri