Bangku Taman

Sebut saja sebagai bangku taman, aku asing dijejaki puluhan langkah antah berantah. Kecuali kamu, berlalu lalang datang-pergi.

Aku memilih diam. Disinggahi hanya sepersekian waktu. Tak apa. Barangkali lampu taman bersedia tetap hidup, tapi itu tak cukup untuk hidupkan jiwamu yang redup.

Kamu benar, katamu menegaskan, “jalan yang sedang kausinggahi akan berakhir menjadi rinduku”.

Aku meneduhkan risauku dan menahan luka jatuh dari pelupuk: terakhir kali, di simpang jalan tubuh tegap kalap oleh gelap. Lampu taman meremukkan pendarnya, langkahmu mundur dan memutar haluan. Semesta tidak lagi mengizinkan sua, tapi meninggalkan bekas luka yang masih membekas jua.

“Aku pergi,"

Dan singgahmu hanya sebatas sementara, rindu itu bukan untuk aku. “Semoga kausegera menemukan jalanmu, agar tidak lagi menyinggahiku.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pulang

Mati Suri

Kopi Hangat